Katekese Liturgi untuk Penghayatan Iman

1196
Menghidupkan Iman: Gambaran “keanekaragaman” sikap liturgi umat ketika Bapa Kami.
[HIDUP/Stef P. Elu]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Beragam pertanyaan seputar liturgi, termasuk sikap dan praktik dalam Ekaristi tak ada habisnya. Sikap liturgi harus mendekati semangat keseragaman dan kesatuan Gereja Universal. KAJ menggelar katekese liturgi untuk menghidupkan penghayatan iman umat.

Layaknya taman dengan aneka bunga, itulah realitas Gereja Keuskupan Agung Jakarta (KAJ). Hal ini nampak dalam potret para imam atau pelayan tertahbis dari 22 tarekat di 63 paroki. Tak dipungkiri, latar pendidikan teologi, spiritualitas dan kharisma tarekat mereka pun beragam.

Situasi metropolitan juga membentuk Gereja KAJ. Umat berasal dari berbagai suku, tradisi, dan budaya dengan penghayatan iman yang khas. Selain itu, keanekaragaman bangunan gereja turut mempengaruhi praktik liturginya.

“Gereja KAJ yang berwarna-warni bersatu dengan Gereja Lokal dan menjadi bagian Gereja Universal. Liturgi kita di bawakan dengan gaya Romawi. Bagaimana penghayatan liturgi ini di satu pihak bisa menghidupkan dan mendekatkan umat kepada Allah, tapi di lain pihak juga tak keluar dari apa yang digariskan Gereja Universal? Selalu ada tegangan,” ungkap Ketua Komisi Liturgi (Komlit) KAJ, Romo Hieronymus Sridanto Aribowo.

Hal ini menciptakan “keanekaragaman” sikap liturgi dalam Ekaristi. Fenomena itu kerap ditanyakan umat: ‘Bagaimana sikap liturgi ideal?’ Pertanyaan seputar liturgi, muncul karena umat belum tahu sikap liturgi yang sesuai Tata Perayaan Ekaristi (TPE) dan Pedoman Umum Missale Romanum (PUMR).

“Keanekaragaman ini mungkin karena Komisi Liturgi tak berbuat banyak untuk ka tekese liturgi. Sebagai Komlit, kita harus merasa bersalah, kita sudah melakukan apa? Liturgi yang ideal mesti tetap diupayakan untuk dicapai. Sebaik mungkin makin mendekati apa yang diinginkan Gereja Universal dalam liturgi, tanpa meninggalkan apa yang ada dalam Gereja Lokal,” ujar Romo Danto.

Romo Danto berpendapat, prinsip kesatuan tak harus seragam. “Prinsip kesatuan dalam keberagaman mungkin lebih mendekati, tapi Gereja Lokal harus ada kesatuan dengan Gereja Universal. Mau menuju kesatuan, keberagaman itu tak bisa dihindari. Namun sebagai starting point, kita berangkat dari yang sama. Untuk mencapai kesatuan berangkat dari keseragaman.”

Mengembangkan Katekese
Dalam Ekaristi, sikap liturgi yang di anjurkan Gereja menjadi sikap yang mendukung orang lebih dekat dengan Tuhan secara bersama-sama dalam ibadat resmi umum. “Juga sikap liturgi yang dikenalkan para imamnya, yang familiar dan friendly sehingga penghayatan umat makin hidup. Untuk bisa dikenal, harus ada katekese. Persis inilah masalahnya: katekese liturgi belum digarap. Umat pun cenderung jatuh pada yang legitim: harus atau tidak, boleh atau tidak. Liturgi bukan hanya itu, tapi butuh katekese,” kata Romo Danto.

Menurut imam kelahiran Semarang, Jawa Tengah, 2 Oktober 1969 ini, katekese liturgi belum berjalan. Katekese liturgi harus dimulai agar umat tahu makna tiap sikap liturgi. “Sejauh mana katekese liturgi di KAJ serius digarap? Apakah para Romo Paroki ikut memikirkannya? Apakah katekis-katekis di bekali pengetahuan liturgi yang memadai?”

Menyadari pentingnya katekese liturgi, Komlit KAJ bergandeng tangan dengan Komisi Kateketik (Komkat) KAJ menyelenggarakan Training of Trainers (TOT) Liturgi. Inilah TOT tingkat dasar bagi para Seksi Liturgi dan Seksi Katekese di paroki.

“Katekese liturgi tak bisa ditawar-tawar dan harus dihidupkan sehingga muncul ide membuat TOT dasar itu. Diharapkan, nanti nya dibawa di tingkat dekanat sehingga ada TOT dekenat. Sikap liturgi yang baik ialah yang didampingi dengan katekese liturgi!” tandas Romo Danto. Harapannya, nantinya ada TOT lanjutan dan menghasilkan katekis handal dengan pemahaman liturgi yang memadai serta mampu menjadi tutor bagi umat, bah kan mencetak guru atau katekis pengajar TOT.

Keberagaman dalam Liturgi
Selain TOT, katekese liturgi digarap dengan Festival Lagu Liturgi Anak dan launching buku liturgi anak di Stasi St Agustinus Halim Perdana Kusuma, Paroki St Antonius Padua Bidaracina, Jakarta Timur, Minggu, 16/11. Komlit KAJ bekerja sama dengan Seksi Liturgi Dekenat Jakarta Pusat, Stasi dan OMK Halim. “Terus terang, liturgi untuk anak-anak belum terperhatikan. Misa anak hanya Paskah dan Natal. Bagaimana anak mencintai liturgi Gereja? Misa anak dan OMK diatur secara khusus,” beber Romo Danto.

>Saat itu, katekese liturgi diberikan pada anak-anak. “Misal, lagu pembukaan fung sinya apa? Kita akan menyambut Yesus dan wakilnya imam, dengan penuh sukacita. Ini kita ekspresikan dengan lagu pembukaan, yang mengiringi imam masuk menuju altar. Kalau pemahaman ini tak dibiasakan sejak kecil, ya orang tidak mengerti,” lanjutnya.

Contoh lain ialah membuat tanda salib dalam Ekaristi. Bukan berapa kali membuat tanda salib atau seperti apa harus membuat tanda salib, tapi mengapa membuat tanda salib? Orang membuat tanda salib karena ingin iman akan Allah Tri Tunggal meresap dalam dirinya.

Lalu saat Bapa Kami, kala sikap tangan imam menengadah, umat mesti seperti apa? Romo Danto menjelaskan, Bapa Kami merupakan doa resmi Gereja, yang di adopsi sesuai bahasa asli. Doa ini dianggap sempurna, sehingga sikap imam atau pelayan tertahbis di altar, pemimpin jemaat sebagai wakil Yesus menengadahkan tangan sebagai bentuk ajakan kepada umat untuk mengarahkan kepada Bapa. Umat ikut berdoa, dengan caranya. Sikap yang baik dan ideal adalah tangan umat mengatup. Pada Misa OMK, umat bisa bergandeng tangan sebagai ekspresi persaudaraan, kedekatan, dan menganggap Allah begitu dekat.

Katekese liturgi bisa dijelaskan untuk menjawab pertanyaan umat. Misal, mengapa saat “Aku Percaya” atau Credo, ada bagian di mana umat mesti membungkuk. Credo itu iman Gereja, dogma dan ajaran yang benar. Mengapa membungkuk? Allah menjelma menjadi manusia, ada misteri inkarnasi yang tak mungkin terjadi jika Maria tak mengatakan ‘ya’. Karena Maria, misteri inkarnasi terjadi. Dalam Credo saat kalimat yang dicetak miring, umat membungkuk sebagai penghormatan kepada Yesus, Maria dan iman yang disyukuri seperti iman Maria –penghormatan pada misteri inkarnasi. Allah menyamakan dirinya sederajat dengan manusia. Karena itu, bagian ini diberi penekanan. Sebagai liturgi umum dan bersama, tak cukup melakukannya sendiri. Wajar tiap agama juga punya ibadat resmi dengan gerakan sama.

Bagaimana dengan Doa Syukur Agung (DSA), ketika hosti atau piala diangkat. DSA menjadi salah satu puncak dalam Ekaristi (ukaristein, pujian syukur nan agung), yang diadopsi dari tradisi Yahudi. Puncak DSA mulai dari eplikese permohonan turunnya Roh Kudus di mana roti dan anggur menjadi Tubuh dan Darah Kristus, dan kisah institusi seperti yang dikatakan Yesus dalam Kitab Suci: “Inilah Tubuh-Ku ….”

Hal itu dipelihara hingga sekarang karena keluar dari mulut Yesus, yang diperlakukan khusus. PUMR dan SC menuliskan: “umat mesti memandang”. Umat berfokus, memperhatikan, prayerfulterarah pada Yesus dengan penuh hormat. Lalu bagaimana jika menghormati dengan menyembah tanpa memandang? “Sejauh ada kesejajaran makna, penghormatan, saya tak keberatan. Meski harus terus disosialisasikan, kita tak bisa melarang. Sikap yang baik juga, jangan menghakimi. Biarkan ia merasakan kehadiran Tuhan dengan sikap demikian, tapi itu bukan sikap kompromistis,” jelas Romo Danto.

Kian Menghayati
Romo Danto menjelaskan dengan katekese liturgi, umat diajak untuk lebih menghayati liturgi dengan penuh makna. “Kalau sampai di situ liturgi punya efek, buah-buahnya apa? Misal, buah-buah Ekaristi setelah mendengarkan sabda Tuhan, saya pulang membawa sukacita, mau berbuat baik untuk orang lain dan masyarakat. Liturgi yang baik harus menstransformasi orang beriman untuk menjadi agent of blessing, agen rahmat. Kita mau berbagi dengan yang lain. Saya bisa memahami liturgi di gereja tenda, mengapa umat tidak berlutut … karena di sana tak ada tempat berlutut sehingga umat berdiri,” paparnya.

Agar katekese liturgi berjalan, lanjut Romo Danto, katekis dan pelayan liturgi mesti diberi bekal yang baik dan sesuai, termasuk soal spiritualitas liturgi, yakni spiritualitas pelayanan, Allah yang berbelas kasih dan murah hati. Selain itu, pengetahuan liturgi para pelayan tertahbis dan umat juga mesti di-up date dan di-up grade. Harapannya, katekese liturgi terus dikembangkan dengan memperhatikan isi, metode, yang menyangkut cara pengajaran, seminar, workshop, dan mediumnya.

Maria Pertiwi

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here