Ahli Matematika, Pelayan Orang Papa

603
Beato Francesco Faà di Bruno saat melayani orang miskin.
[santosdedios.com]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Francesco adalah “raksasa iman”. “Ia jauh dari dosa dan cintanya tak kehabisan tenaga,” pesan Paus Yohanes Paulus II dalam Misa Beatifi kasi Francesco Faà di Bruno.

Di kota Turin, sebuah gereja mewah berdiri tegak. Gereja Bunda yang Terpilih dan St Zita (Chiesa di Nostra Signora del Suffragio e Santa Zita) menjadi terkenal karena nilai sejarahnya. Gereja ini didesain geometris dengan menara pancang setinggi 75 meter dengan warna keemasan di depan. Di samping menara tersebut, sebuah kubah gereja dengan patung St Mikhael, malaikat pertempuran berdiri tegak. Patung tersebut berlapis emas setinggi lima meter.

Dalam gereja terdapat sebuah altar besar dari marmer Carrara dan marmer Torteton. Sebuah patung Bunda Maria berukuran sepuluh meter juga ditempatkan di belakang altar. Patung Bunda Maria sedang membuka kedua tangan tangan bagi jiwa-jiwa di Api Penyucian. Matanya digambarkan berpaling ke surga dan meminta pertolongan kepada Yesus, Sang Putra untuk keselamatan jiwa-jiwa. Di kakinya ada dua malaikat. Satu membawa salib dan malaikat lain memegang piala, sebagai tindakan pengampunan dan pembebasan dosa lewat darah Kristus.

Gereja Bunda yang Terpilih dan St Zita ini didesain arsitek asal Italia, Edoardo Arborio Mella pada 1900-an. Namun, pencetus pendirian gereja ini tak lain adalah Beato Francesco Faà di Bruno, mantan tentara, Doktor Matematika, dan imam Keuskupan Agung Turin. Francesco mendedikasikan gereja ini untuk para tentara yang gugur di medan perang dan bagi jiwa-jiwa yang berada di Api Penyucian.

Jiwa Sosial
Cesco, begitu panggilan kesayangan pemilik nama lengkap Francesco Faà di Bruno. Ia adalah seorang putra bangsawan dari Kerajaan Sardinia, Cagliari, Italia. Kerajaan ini menganut sistem pemerintahan monarki konstitusional. Kerajaan Sardinia terletak di Eropa selatan yang mulai berdiri pada awal abad XIV sampai akhirnya runtuh pada pertengahan abad XIX.

Sejak kecil, ia sudah bercita-cita menjadi imam. Tetapi keinginan ini tak direstui orangtuanya Luigi Faà Marchio di Bruno dan Carolina Sappa de’Milanesi. Demi ketaatan kepada orangtua, Cesco terpaksa menguburkan cita-cita mulia ini. Meski begitu, bungsu dari 12 bersaudara ini tak pernah putus asa. Ada saja cara untuk melayani orang lain, khususnya kaum miskin di Turin. Sejak usia sepuluh tahun, ia gemar membantu tunawisma dan anak-anak miskin. Kadang-kadang, ia terpaksa berbohong kepada Luigi dan Carolina demi mendapatkan uang untuk membeli makan untuk kaum miskin.

Jiwa sosialnya makin terasa saat beranjak remaja. Pria kelahiran Alexandria, Piedmont, 29 Maret 1825 ini yakin bahwa ia dipanggil untuk melayani orang miskin. Ia tak ingin menyaksikan banyak orang meninggal karena kelaparan. Ia beranggapan, bahwa situasi ini bertolak belakang dengan kehidupan kota Turin yang dikenal sebagai pusat perindustrian di Italia.

Demi menyelamatkan hidup kaum miskin, Cesco mengundang anak-anak miskin ke istana. Di situ ia mengajari mereka musik, Matematika, Geografi, dan Kartologi. Tak lupa, ia memberi mereka makan hingga kenyang. Lambat laun, istana mewah itu berubah menjadi “sanggar” kaum miskin. Kadang kala beberapa anak ikut menginap di kastil mewah itu.

Lambat laun, Cesco menjadi kawan kaum miskin. Beberapa kegiatannya juga lambat laun didukung Gereja setempat. Sayangnya, pada saat bersamaan, gejolak sentimen anti Katolik dan anti Paus sangat kuat. Alih-alih membantu orang miskin, Cesco dituduh sebagai pengacau ketenteraman umum. Sebagai hukuman, ia dipaksa ikut wajib militer. Bersama empat saudaranya, Cesco siap angkat senjata.

Saat itu, usianya baru 17 tahun. Ia lalu masuk sekolah Tentara Kerajaan Turin kemudian bekerja sebagai pegawai kantor. Ia juga sempat mencicipi posisi sebagai staf khusus militer. Dalam bertugas, Raja Victor Emmanuel II (1759-1824) sangat terkesan dengan Cesco. Raja Victor melihat ada sesuatu yang berbeda dari putra Luigi ini. Meski tak pandai membersihkan senjata, membidik senjata, dan berperang, tetapi ia pandai soal Matematika dan kesenian.

Raja Victor lalu menawarinya menjadi guru privat untuk kedua anaknya, Maria Beatirice Victoria Josepha dan Maria Adelaide Clothilde Xaveria Borbonia. Hanya orang istimewa yang bisa mendapat tawaran ini. Tetapi Cesco menolak tawaran ini, sebab ia tidak dapat menerima tabiat asli raja yang suka menyiksa orang Yahudi dan Waldens (orang Kristen pengikuti Petrus Waldo abad XII).

Setelah penolakan ini, Cesco ditempatkan di medan perang. Ia menjadi tentara dan ikut berperang di Novara sebelah utara Italia. Di sinilah, ia menyaksikan banyak tentara tewas. Kepedihannya bertambah ketika kakaknya, Emilio meninggal dalam pertempuran di Lissa, Italia.

Menjadi Imam
Usai perang, Cesco kembali ke rumah. Kesempatan ini lalu digunakan perwira letnan satu ini untuk melanjutkan kuliah di Universitas Sorbonne Paris, Perancis. Ia mengambil spesialisasi Matematika dan Astronomi. Ia menjadi anak asuh matematikawan terkenal Augustin Cauchy (1789-1857).

Setelah meraih gelar doktor di Perancis, ia kembali ke Italia dan menjadi dosen di Universitas Turin. Banyak mahasiswa tak pernah kesulitan mendapat nilai baik dari pria ramah ini. Dia adalah satu-satunya dosen yang rendah hati. Ia mendatangi mahasiswa dan memohon agar mengikuti ujian remedial. Satu muridnya yang terkenal adalah Giuseppe Peano, penemu garis geometris dalam Matematika.

Sebagai pengakuan atas prestasinya, Cesco bahkan mendapat gelar Doktor Kehormatan dari Universitas Sorbonne dan Turin. Beberapa karya yang masih digunakan hingga saat ini termuat dalam buku berjudul Apparatus Ilmia Bruno. Dalam buku ini, Cesco menjelaskan soal rumus eliminasi dan teori fungsi elips.

Di luar kampus, Cesco sangat aktif dalam kegiatan keagamaan. Sifat sosialnya terhadap orang miskin tak pernah mati. Bersama komunitas-komunitas karitas di Keuskupan Agung Turin, Cesco melayani orang miskin, para janda, pekerja seks komersial, dan para veteran perang. Dalam pelayanan ini, Tuhan mempertemukannya dengan St Yohanes Don Bosco. “Bila engkau yakin ini jalanmu, jalanilah,” pesan Don Bosco suatu ketika.

Pesan ini dirasakan Cesco seperti pukulan baginya. Dalam situasi ini, Cesco mulai kehilangan motivasi menjadi pengajar. Ia merasakan, cita-cita masa kecilnya telah direnggut dunia pendidikan. Ia yakin, saatnya merebut lagi cita-cita itu. Berkat karya Roh Kudus, Cesco memutuskan menjadi imam. Ia masuk Seminari Turin saat usianya sudah 41 tahun.

Raksasa Iman
Saat ditahbiskan menjadi imam, banyak orang menolaknya. Kuria Keuskupan Agung Turin berpandangan dalam usia 50 tahun, Cesco tak bisa melayani lagi. Tetapi Cesco terus meyakinkan diriny dan para pembimbing bahwa ia bisa melayani. Ia lalu mengajukan permohonan kepada Paus Pius IX agar ditahbiskan. Tak diduga, Sri Paus menerima permohonan Cesco, hingga akhirnya ditahbiskan pada usia 51 tahun.

Dengan sisa gaji sebagai dosen, Pater Cesco membeli sebuah rumah dan menampung kaum perempuan yang gagal dalam perkawinan, wanita tunasusila, dan janda. Kaum perempuan yang kurang beruntung ini dibantu hingga menemukan kepercayaan diri. Mereka ini kemudian menjadi cikal bakal berdirinya Institut Religius Suster-suster St Zita pada 10 Juli 1881. Romo Cesco menjadi bapak rohani bagi mereka hingga tutup usia di Savoy, Turin, 27 Maret 1888. Ia meninggal dalam usia 62 tahun.

Proses beatifikasi Pater Cesco dibuka oleh Keuskupan Agung Turin pada abad XX. Ia  inyatakan venerabilis oleh Paus Paulus IV pada 1971. Tepat seabad meninggalnya, Paus Yohanes Paulus II membeatifikasi. Misa beatifikasi diadakan di Gereja Bunda yang Terpilih dan St Zita Turin, pada 25 September 1988.

Yusti H. Wuarmanuk

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here