Pesta Iman, Pesta Rakyat

203
Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC.
[Dok.HIDUP]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Pesparani menjadi gawai seluruh umat beriman. Lewat pesta paduan suara, persatuan Indonesia akan dikumandangkan.

Kali ini giliran umat Katolik menjadi tuan rumah parade persatuan dalam keragaman Indonesia lewat Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik. Terkait dengan event iman ini, HIDUP mewawancarai Uskup Amboina, Mgr Petrus Canisius Mandagi MSC. Berikut petikannya:

Apa sasaran utama Pesparani 2018 ini?

Kalau membaca tema Pesparani, yakni “Membangun Persaudaraan Sejati”, tema ini sejalan dengan visi Keuskupan Amboina. Dalam suksesi persaudaraan ini, tentu perlu banyak pihak yang terlibat baik hierarki maupun awam, baik Katolik maupun non Katolik. Awal perkembangan, Pesparani harus disadari, bahwa ini tidak melulu dalam konteks Kekatolikan, tetapi juga menyasar bidang lain seperti kesaksian hidup kaum awam lewat katekese dan liturgi.

Dalam artian ini, dapat dikatakan, Pesparani tidak hanya pesta iman tetapi pesta rakyat. Pesta yang tadi bersifat liturgis menjadi pesta bersama dengan keterlibatan agama lain. Kultur persaudaraan mulai nampak. Pemerintah pun sangat mendukung kegiatan ini dengan dana yang luar biasa. Selama 12 tahun, Maluku sudah mengadakan Pesparani maupun sebagai tamu Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi). Jadi Pesparani menjadi media kesaksian. Tidak sekadar liturgis tapi persaudaraan.

Apakah semangat Pesparani yang lahir di Keuskupan Amboina ini telah menjalar dari ranah liturgi hingga ke ranah politik?

Kalau Pesparani dikatakan sebagai agenda politik di Maluku, itu tidak! Sebab tujuan utamanya adalah agar persaudaraan benar-benar terjalin dalam Pesparani. Kalau di Maluku menjadi tuan rumah Pesparani dengan harapan ada agenda politik tertentu sama sekali saya tegaskan tidak. Sebab persaudaraan itu sudah mulai kental sejak pembentukan panitia. Semua agama ikut berpartisipasi di dalamnya, tidak saja Katolik. Unsur pemerintah juga kuat karena Kepala-kepala Dinas menjadi Kepala Seksi di setiap bidang kepanitiaan. Klerus dan awam juga terlibat. Justru kita mau sharingkan ke dunia bahwa Pesparani bukanlah kegiatan internal Katolik tapi pesta rakyat. Ada harapan bahwa ada koordinasi persaudaraan yang merambat dari provinsi ke kabupaten-kabupaten dan dari keuskupan ke paroki-paroki.

Adakah karakter liturgi khusus, misalnya inkulturasi, diangkat dalam Pesparani ini?

Pesparani sekarang ini belum ada unsur inkulturasi. Sebenarnya dalam rapat-rapat koordinasi soal inkulturasi juga muncul tetapi persiapan panitia dan Lembaga Pembinaan dan Pengengambangan Pesparani (LP3K) agak terlambat. Bahkan pernah ada usulan soal cipta lagu, kompilasi lagu dan sebagainya tetapi lagi-lagi persiapan kurang. Tahun ini agenda-agenda yang dicanangkan tak lain adalah lagu-lagu Gregorian sebagai ciri khas Gereja Katolik, Lomba Kitab Suci, Mazmur, dan Bertutur Kitab Suci.

Apakah ada value tambah dari pemilihan tempat?

Karena temanya persaudaraan, ada beberapa tempat yang kita pilih, Islamic Center, Hindu Center Christian Center, lalu Catholic Center, Buddha Center, Gedung Xaverius, Gedung Eukumene, Gedung Siwalima, dan Gedung Tanam Budaya. Satu tempat itu khusus untuk pameran di Polda Tentui. Acara pembukaan dan penutup di Lapangan Merdeka. Peserta yang hadir lebih dari lima ribu orang. Yang justru menjadi perhatian itu tempat-tempat yang non Katolik sehingga selaras dengan tema yakni persaudaraan. Ini bukan baru terjadi. Saat Pesparawi juga di tempat itu sehingga persaudaraan terawat begitu lama. Saat MTQ, kontingen Provinsi Banten tinggal di Keuskupan Amboina, begitu juga dari Papua Barat saat Pesparawi. Sehingga searah dengan visi gubernur yakni menjadikan Ambon sebagai laboratorium persaudaraan.

Wilhemus Matrona
Laporan: Antonius E. Sugiyanto

HIDUP NO.41 2018, 14 Oktober 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here