Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFM Cap : Saya Hanya Persiapkan Jalan

956
Uskup Agung Medan Mgr Anicetus Bongsu Antonius Sinaga OFMCap saat ditemui di Gedung Konferensi Waligereja Indonesia (KWI) Cut Meutia Menteng, Jakarta Pusat, Jumat, 9/11.
5/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Saya ingin Gereja KAM terus tumbuh dalam semangat keluarga Kristiani. Sambil mendoakan umat KAM, saya akan mempersiapkan jalan bagi gembala utama Keuskupan Sibolga.

Paus Yohanes Paulus II dalam Anjuran Apostolik Church in Asia menjelaskan bahwa Asia merupakan daerah kelahiran Yesus. Kenyataan-kenyataan religius dan budaya Asia turut membentuk iman orang Kristen. Gereja lokal Keuskupan Agung Medan (KAM) dalam lima tahun terakhir mengangkat tema keluarga sebagai Ecclesia Domestica. Dari keluarga ini lahirlah tokoh-tokoh yang matang secara rohani. Salah satunya Mgr Kornelius Sipayung OFMCap. Terkait hal ini, HIDUP mewawancarai Uskup Agung Emeritus Medan Mgr Anicetus Bongsu Sinaga OFMCap. Berikut petikannya:

Mengapa keluarga menjadi arah dasar pastoral di KAM?

Dalam konteks Asia, keluarga adalah dimensi religius dan transendental. Sayangnya pandangan ini dibuang di Eropa yang individualisme telah meresapi masuk ke seluruh lini kehidupan. Sekularisme sangat berkuasa dan menjadi ancaman dunia dewasa ini. Kehidupan manusia dinilai dari seberapa jauh memuja dunia. Bagi saya ada hal penting yang harus dikabarkan kepada umat yaitu ikatan kekeluargaan bahwa dalam keluarga lahirlah dimensi vertikal. Ini pesan penting karena orang zaman ini menertawakan uskup kalau berbicara soal kesucian perkawinan, berbicara soal cara berdoa. Tentu ini adalah ancaman dunia yang sangat serius. Dan Gereja KAM melihat hal ini sebagai sesuatu yang harus diperjelas.

Apakah refleksi keluarga ini memiliki benang merah dengan kebudayaan Batak?

Tentu ada kaitan antara dunia Asia dan kebudayaan Batak. Kami tidak mau sense of God itu hilang di KAM. Maka itu adanya sublimasi antara Gereja Asia dan budaya Batak. Ada tiga pilar dalam Gereja yaitu klerus, religius, dan awam. Pandangan ini serupa dengan pandangan Dalihan Na Tolu yang menampilkan tiga pilar yaitu somba marhulahula (klerus), elek marboru (mengayomi umat), dan manat mardongan (umat awam). Gereja tentu tidak menolak sesuatu yang baik dari budaya. Bagi saya, agama itu harus sampai kepada Tuhan lewat budaya-budaya yang ada. Jadi refleksi keluarga ini sangat cocok dengan refleksi orang Batak.

Apakah Mgr Kornelius sesuai harapan Uskup?

Saya mengenal Beliau sudah lama. Sayalah yang mengusulkan Mgr Kornelius menjadi anggota Komisi Teologi KWI. Segala warisan saya tersalurkan khususnya dalam hal teologi. Saya bangga dengan Mgr Kornelius karena dia seorang dogmatis, pola pikir, dan imannya dalam pengamatan saya cukup lurus. Dia sedikit tradisional bagi orang-orang revolusioner tetapi mampu membahas iman dalam budaya tertentu. Dia pribadi yang bisa diterima karena itu dua kali terpilih sebagai provinsial.

Tentu setiap orang memiliki keunggulan dan kelemahan. Tetapi kita mencari orang-orang yang memiliki keunggulan dari kelas menengah ke atas, dan saya berpikir dia masuk kategori itu. Mgr Kornelius tidak sempurna tetapi saya tidak memiliki kecemasan karena dia tidak akan mengajarkan kesesatan pada umat. Dia seorang yang moralitasnya tidak diragukan.

Apa yang perlu dibuat Mgr Kornelius di awal tugasnya?

Kami ingin segera memberesi masalah-masalah keuskupan khususnya terkait peran para imam diosesan. Bukan berarti tarekat itu sempurna dan imam diosesan itu kelas dua, karena nyatanya saya pernah mendamaikan dua tarekat Fransiskan di KAM.

Di masa penggembalaan saya, imam diosesan harus mendapat posisi mantap. Berbagi program dibuat misal, menyekolahkan mereka ke Roma, mendirikan Pra Tahun Orientasi Rohani, sumber keuangan terpadu dengan memperhatikan kesejahteraan mereka. Kami juga mengembangkan statuta imam Projo KAM dan membangun rumah pusat yang disebut Graha Dios, juga membeli tanah untuk makam mereka. Kami ingin mereka mempelajari spiritualitas semua imam tarekat di KAM, karena ini rumah mereka.

Sebagai Administrator Apostolik Sibolga, bagaimana Uskup memulai tugas?

Sibolga itu bukan keuskupan baru bagi saya. Saya pernah menjadi uskup di sana dan mengetahui banyak hal di sana. Saya dekat dengan para imamnya serta tarekat yang ada di sana. Mereka sangat bersemangat untuk membantu karya pastoral. Bahkan saya punya mimpi menjadikan Sibolga sebagai keuskupan mandiri dengan memberdayakan aset-aset keuskupan. Tentu saya sadar diri, bahwa saya hanyalah administrator. Saya berpikir di sana saya akan mempersiapkan jalan seperti Yohanes Pembaptis agar kelak siapa yang terpilih bisa meneruskan karya-karya itu.

Yusti H. Wuarmanuk

HIDUP NO.04 2019, 27 Januari 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here