Pacaran Katolik

5279
Mgr Paulinus Yan Olla MSF.
[NN/Dok.Panitia]
4.3/5 - (6 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pacaran yang khas Katolik ditandai oleh bentuk pacaran yang terarah, pada proses pengenalan pribadi. Pacaran bertujuan menemukan landasan kasih yang menyatukan.

Adakah bentuk pacaran yang berlabel Katolik? Bukankah pacaran telah menjadi kosakata yang lazim digunakan di berbagai kalangan dan karenanya tidak khas Katolik? Jika ada yang dinamakan “pacaran Katolik” kiranya apa yang menjadi kekhasannya?

Mengamati Pastoral Keluarga dalam segala tahapannya (baca: pastoral keluarga secara berjenjang) maka yang bisa disebut pacaran Katolik merujuk pada tahap sebelum persiapan perkawinan. Pacaran dalam tahapan di atas dimaknai sebagai saat di mana pria dan wanita yang akan membangun sebuah keluarga berusaha saling mengenal pribadi masing-masing, lingkungan keluarga dan nilai-nilai yang diusungnya.

Tahap pacaran sampai saat ini belum menjadi salah satu syarat yang diwajibkan di paroki-paroki sebelum perkawinan. Durasi tahap pacaran pun akhirnya sangat tergantung disposisi batin masing-masing pasangan dalam menilai ke siap sediaannya menikah. Kendati demi kian tahap ini semakin disadari sebagai tahap yang sangat penting sebelum Kursus Persiapan Perkawinan (program wajib yang di keuskupan tertentu di sebut Program Membangun Rumah Tangga). Melihat pentingnya tahap pacaran, maka di berbagai keuskupan dan paroki, Komisi Keluarga/Seksi Keluarga menjalankan apa yang disebut “program discovery”. Seperti terungkap dari kata bahasa Inggris “discovèry”, program itu merujuk pada “penemuan atau penyingkapan” diri masing-masing pribadi pada orang yang bakal menjadi pasangannya.

Dalam pemahaman di atas, pacaran yang khas Katolik ditandai oleh bentuk pacaran yang terarah, pada proses pengenalan pribadi dan terkait pula nilai-nilai penting yang sering tidak dibicarakan atau ditutupi dalam proses pacaran. Pengalaman dan evaluasi atas program discovery yang diikuti pasangan kaum muda yang sudah berpacaran secara serius memperlihatkan bahwa program itu cukup membantu. Banyak kaum muda yang sudah lebih serius dalam berpacaran mengakui sangat terbantu mengenal kesamaan, perbedaan tetapi juga ketidak mungkinan untuk melanjutkan relasi mereka ke arah perkawinan.

Pacaran yang terarah pada nilai-nilai katolisitaslah yang dapat kita namakan pacaran Katolik. Tekanan dalam tahap ini jelas berbeda dengan PP dengan memberi bantuan kepada pasangan-pasangan dalam memilih pasangan secara tepat dengan landasan-landasan yang disesuaikan dengan latar belakang keluarga, budaya, sosial dan nilai-nilai yang dihayati.

Harus diakui bahwa dalam beberapa budaya ditemukan masih ada perka winan tanpa pacaran, bahkan marak perkawinan dini dan tanpa persiapan. Nilai-nilai iman tak begitu diperhitungkan dalam proses perkawinan, apalagi masih dalam taraf pacaran. Syukurlah dalam situasi yang demikian di beberapa daerah “hukum adat” masih menjadi benteng untuk menghindari melonjaknya tingkat perceraian karena perkawinan yang tergesa dan tanpa persiapan. Dalam konteks seperti inilah Gereja ditantang dan dipanggil untuk menangkal pernikahan dini dan mempromosikan nilai-nilai yang diusungnya.

Pacaran lalu tak sekadar menemukan seseorang untuk dinikahi, tetapi perlu dijadikan momentum agar membantu mereka yang ingin membangun rumah tangga menemukan landasan kasih yang menyatukan. Perkawinan tidak seharusnya didirikan atas landasan perbedaan radikal yang rawan menghancurkan keluarga yang akan dibangun. Dalam kerangka itu pacaran menjadi salah satu tahap yang tidak boleh disepelekan perannya dalam persiapan jauh menuju jenjang perkawinan.

Akhirnya dapat dicatat bahwa pacaran Katolik dan program yang disediakan untuk menuntunnya seperti program discovery atau sejenisnya perlu didukung dan dikembangkan. Ia dapat menjadi sumbangan mempersiapkan perkawinan sesuai cita-cita Kristiani. Inisiatif ini dapat pula merupakan tanggapan atas keprihatinan yang dimunculkan dalam dua Sinode tentang Keluarga (2014 dan 2015) maupun dokumen post-sinodal Amoris Laetitia (2016). Tantangan-tantangan yang dihadapi keluarga masa kini juga sangat kompleks (bdk., seluruh Bab 2 Amoris Laetitia). Misalnya ada keluhan umum, banyak keluarga gagal dipertahan kan karena ketidakmatangan pribadi, afektif dan manusiawi yang seharusnya ditangani sebelum perkawinan. Pacaran Katolik atau pacaran yang terarah hendaknya dikembangkan untuk menjawab tantangan-tantangan itu.

Mgr Paulinus Yan Olla MSF, Uskup Tanjung Selor

HIDUP NO.22 2019, 2 Juni 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here