Seperti Orang Samaria yang Baik Hati

198
Replika perahu yang membawa misionaris MEP ke Siam. Perahu ini ada di depan Gereja St Yosef Ayuthaya, Bangkok, Thailand.
[Pastor Reynaldo Fulgentio Tardelly SX]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Meski kecil dalam jumlah, Gereja menjadi garam yang memberi cita rasa bagi kehidupan masyarakat Thailand. Gereja juga menjadi saksi geliat berbagai sendi kehidupan di sana.

Kehadiran Gereja Katolik di Thailand berawal dari kontak dagang dan diplomatik antara Portugal dan Siam pada awal Abad XVI. Gubernur Portugal untuk wilayah Asia, Alfonso de Albuquerque, berusaha untuk memperluas relasi dengan mengirimkan perwakilannya ke Kerajaan Ayuthaya. Saat itu, sekitar tahun 1511, Raja Rama II berada di pucuk singgasana.

Seorang Fransiskan asal Prancis, bernama Bonferre, merupakan misionaris pertama yang menginjakkan kaki di Siam. Tiga tahun di sana, ia belum mendulang hasil. Fransiskus Xaverius, dalam sebuah korespondensi pada 1552, sempat mengungkapkan keinginannya untuk berkarya di Siam. Rencana tersebut tak terealisasi, sebab ia justru bertolak ke Jepang dan kemudian tutup usia di Pulau Sancian.

Setahun berikut, bersama dengan berlabuh 300 tentara Portugis di Ayuthaya, tiba misionaris pertama Dominikan, Jeronimo da Cruz dan Sebastiao da Canto. Mereka mendirikan sebuah paroki dengan mayoritas umat bangsa Portugis. Mereka berdua kemudian menjadi martir saat invasi Kerajaan Burma.

Hasil Sinode
Misi Ordo Dominikan di Siam terus berdenyut. Setelah kematian Jeronimo dan Sebastiao, Dominikan terus mengirim anggota mereka, yakni Lopez Cordoza, John Madeira, Luis Fonseca, dan John Maldonatu. Kehadiran para imam Serikat Yesus (Jesuit) semakin memperkuat misi di sana. Mereka adalah Balthasar de Sequeira, Julius Cesar Margico, Tomaso Vaguarnera. Jesuit berhasil mendapat simpati Raja Narai, berkat kepandaian dan karya mereka.

Menjelang akhir Konsili Trente, Paus Pius V (1504-1572) mendorong pembentukan sebuah komite khusus untuk menggalakan karya penginjilan yang lebih terorganisir. Inilah yang menjadi cikal bakal kelahiran Kongregasi Suci untuk Penyebaran Iman (Propaganda Fide). Dekrit pendirian lembaga tersebut ditandatangani oleh Paus Gregorius XV (1554-1623) pada 6 Januari 1622.

Dalam semangat inilah, Société des Missions Étrangères de Paris (MEP), sebuah institusi misionaris yang terdiri dari para imam diosesan asal Paris didirikan. Pada 29 Juli 1658, Paus Alexander VII (1599-1667) menunjuk Mgr. François Pallu, MEP (1626-1684) menjadi Vikaris Apostolik Tonking. Wilayah pelayanannya mencakup sebagian wilayah Cina Daratan dan seluruh Kerajaan Laos. Pada tahun yang sama, Vatikan juga menunjuk Mgr. Pierre Lambert de la Motte, MEP (1624-1679) sebagai Vikaris Apostolik Cochin. Ia melayani umat di Cina Selatan.

Sebelum penunjukan resmi ini sampai tahun 1622 sudah ada sebelas imam misionaris di Ayuthaya. Mereka terdiri dari Jesuit, Dominikan, dan Fransiskan. Ordo Agustinian juga ikut hadir dan membantu karya pelayanan di wilayah gerejawi baru ini. Akan tetapi, pelayanan mereka lebih banyak diberikan kepada bangsa asing, termasuk umat asal Jepang yang melarikan diri dari persekusi.

Segera setelah kedatangan Mgr. Pallu dan kelompok misionaris pertama MEP, sebuah sinode diadakan. Acara tersebut dipimpin langsung oleh Mgr. Lambert dan Mgr. Pallu. Meski diwarnai dengan perdebatan di antara kongregasi tentang siapa yang lebih pantas memimpin umat Katolik di kerajaan ini, sinode tersebut tetap menghasilkan beberapa keputusan signifikan.

Pertama, mendirikan seminari untuk pendidikan calon imam lokal atau diosesan. Kedua, misionaris dilarang untuk terlibat dalam politik dan bisnis, tapi diminta untuk lebih berasimilasi dengan kebudayaan dan tradisi setempat. Mereka juga diminta untuk memberi lebih banyak waktu untuk katakese, penerjemahan Kitab Suci dan ajaran Katolik ke dalam bahasa Thai. Ketiga, mendirikan sekolah dan memberi layanan pendidikan serta kesehatan gratis bagi warga setempat.

Tahun 1665, Raja Narai memberi izin kepada Mgr. Lambert untuk mendirikan sekolah pertama di wilayah kerajaannya. Pada 1667, Mgr. Pallu berangkat ke Roma untuk beraudiensi dengan Paus. Selanjutnya, Vatikan mendorong sang uskup untuk membentuk Gereja Lokal Siam atau Misi Siam pada 4 Juli 1669.

Atas restu Takhta Suci, Mgr. Pallu dan Mgr. Lambert menunjuk Pastor Louis Laneau, MEP (1637-1696) menjadi Vikariat Apostolik Siam dan Nankin pada 1673. Sekitar setahun kemudian, tepatnya 25 Maret 1674 di Ayuthaya, imam kelahiran Mondonbleau, Prancis itu ditahbiskan sebagai uskup pertama Siam. Penahbis utama adalah Mgr. Lambert dan didampingi oleh Mgr. Pallu.

Pada 10 Desember 1685, Raja Narai menandatangani sebuah traktat dengan Prancis. Salah satu isi perjanjian tersebut adalah sang raja mengizinkan para misionaris untuk mewartakan Injil di seluruh wilayah kerajaannya dan menjadikan hari Minggu sebagai hari libur untuk warga Thai yang menganut Katolik.

Tak Selalu Mulus
Gereja Katolik terus bertumbuh dan berkembang seiring waktu. Pada 11 Mei 1944, Vatikan menunjuk imam pribumi Thailand, Pastor Giacomo Luigi (James Louis) Cheng sebagai Vikaris Apostolik Chantaburi. Namun, seperti masa-masa awal, perjalanan Gereja Katolik di sana tak selalu mulus.

Saat pecah Perang Dunia II (1939-1945), meski Thailand netral, namun di sana tumbuh kelompok anti-Barat. Arus politik anti-Barat diperuncing dengan kericuhan Laos dan Kamboja dengan Prancis di perbatasan Thailand. Kelompok tersebut menilai, kehadiran orang Prancis bisa menjadi ancaman.

Naas, mayoritas misionaris di Thailand berdarah Prancis. Kecurigaan pun merajalela. Bahkan, kebijakan politik pun merasuki ranah agama. Agama Katolik diidentikkan dengan bangsa Prancis. Merebaklah paham, Katolik sebagai agama asing dan musuh bangsa.

Pada masa itu, banyak gereja ditutup, bahkan dihancurkan. Sekolah-sekolah milik Gereja pun mengalami nasib serupa. Umat Katolik Thailand menjadi bulan-bulanan kelompok anti-Barat: direpresi, diteror, dan dikejar-kejar. Setelah tertangkap, mereka dipenjara, disiksa dan bahkan dibunuh secara keji. Selama rentang tahun tersebut, tak sedikit jumlah martir membasahi tanah Siam dengan darah mereka.

Langkah Vatikan menunjuk Mgr. Cheng sebagai pemimpin Gereja lokal terbilang tepat. Ia mampu melindungi banyak umatnya dari persekusi dan pembunuhan. Kendati ziarah Gereja di sana melewati jalan beronak dan berduri, misi di Siam terus berkembang. Peristiwa tersebut ditandai dengan terbentuknya Hierarki Gereja Katolik Thailand.

Menjelang akhir Perang Dingin (1947-1991), Paus Yohanes Paulus II mengunjungi Thailand. Pada tahun yang sama, Paus menunjuk Uskup Agung Bangkok, Michael Michai Kitbunchu, sebagai kardinal perdana Thailand. Selang enam tahun Kardinal Kitbunchu pensiun, Paus Fransiskus menunjuk Mgr. Francis Xavier Kriengsak Kovithavanij sebagai kardinal baru Thailand. Hal ini menjadi salah satu bukti bahwa hubungan antara Vatikan dengan Gereja Katolik di Thailand penting, kendati umat Katolik di sana terbilang kecil. Non multa sed multum, kecil dalam jumlah tapi berkualitas dalam iman.

Berdasarkan data statistik yang dirilis oleh Komisi Komunikasi Sosial Konferensi Waligereja Thailand, jumlah umat Katolik per 2018 berjumlah 379.975 jiwa atau sekitar 0, 46 persen dari 69 juta populasi penduduk Thailand. Mereka terbagi dalam 12 keuskupan atau 436 paroki. Ada sekitar 662 imam yang melayani umat di sana.

Setelah tiga setengah abad misi Siam teretas, saya bersama sekolompok kecil umat Katolik Indonesia berziarah ke Gereja St Yosef Ayuthaya. Kami melihat dari dekat prasasti kelahiran dan kehadiran Gereja Katolik pertama di negeri yang juga berjuluk land of smile. Gereja ini dibangun di atas tanah pemberian Raja Narai yang kemudian menjadi semacam “geto” atau koloni St Yosef.

Sama halnya dengan segala jenis tunas yang rapuh, kehadiran dan pertumbuhan Gereja sempat nyaris terhenti pada saat pemberontakan Phra Phret Racha, yang berdampak pada persekusi dan pemenjaraan para misionaris dan umat Katolik. Gereja yang tumbuh dari kemartiran banyak misionaris ini akhirnya bisa tetap hidup dan bertumbuh.

Meski kecil dalam jumlah, Gereja Katolik Thailand menjadi garam yang memberi cita rasa bagi kehidupan berbangsa dan bernegara tertutama melalui karya pendidikan, kesehatan, dan kemanusiaan.

Gereja secara historis juga menjadi saksi geliat politik, ekonomi, dan sosial di sepanjang semenanjung Indocina sampai sekarang. Migrasi dan kriminalitas internasional seperti prostitusi dan perdagangan manusia menjadi perhatian prioritas Paus Fransiskus dalam kunjungannya ke Thailand.

Gereja bersama pemerintah dan banyak organisasi kemasyarakatan telah lama bekerjasama membantu para pencari suaka politik dan imigran gelap. Karena menjadi salah satu pusat perdagangan di kawasan Indocina, Thailand sudah sejak lama menjadi persimpangan migrasi dan mobilisasi manusia yang masif dari dan ke segala penjuru semenanjung Indocina.

Banyak Cerita
Napak tilas ke gereja-gereja Katolik tertua warisan Portugis dan Prancis di sepanjang sungai Chao Praya memberi gambaran yang jelas tentang Gereja Thailand sebagai orang Samaria yang baik hati. Mayoritas umat Katolik di negeri ini umumnya dari keturunan Tionghoa (Khon Cin) dan Vietnam (Khon Ywan). Konon, mereka umumnya tinggal dan berdagang di pinggiran Sungai Chao Praya, dan berkat karya dan kehadiran para misionaris, mereka berhasil pelan-pelan menyatu dengan orang asli hingga sekarang ini. Di gereja-gereja seperti Santa Cruz, St Fransiskus Xaverius, St Yosef Ayuthaya, Rosari Kalawa, dan gereja-gereja lain di sepanjang sungai besar ini masih terdapat koloni Tionghoa dan Vietnam yang layak dikunjungi. Semuanya hingga kini masih menyimpan banyak cerita tentang iman dan pengharapan kawanan kecil umat Allah di tengah zaman yang terus berubah. *Misionaris Serikat Xaverian asal Indonesia berkarya di Thailand.

Yanuari Marwanto/Pastor Reynaldo Fulgentio Tardelly, SX* (Bangkok)

HIDUP NO.49 2019, 8 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here