Orang Muda dan Rumah Bersama

69
Pemutaran video mapping tentang pahlawan-pahlawan nasional di Katedral St. Maria Diangkat ke Surga Jakarta Pusat memperingati ulang tahun Sumpah Pemuda.
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Tahun berhikmat sebagai gerak pastoral Keuskupan Agung Jakarta (KAJ), berjalan bersama tahun politik. Peneliti Centre for Strategic and International Studies, Dominique Nicky Fahrizal, menilai dalam Pemilu 2019, Gereja, khususnya KAJ, sudah menjadi mercusuar etika, moral, dan nilai politik yang baik. “KAJ memandu umat menjadi warga negara yang baik,” ujarnya, Rabu, 11/12. Paling nyata, ia katakan, di tingkat lingkungan dan paroki diselenggarakan seminar-seminar, sosialisasi memilah disinformasi dan berita palsu. Diskusi-diskusi ini menyadarkan umat sebagai warga negara untuk tidak mengotori pemilu dengan disinformasi.

Meski polarisasi pemilih tidak terhindarkan, Gereja, dalam kaca mata Nicky, memposisikan diri di tengah, mengarahkan umat untuk lebih jernih dalam berpolitik, baik pasif maupun aktif. “Gereja mengembalikan tujuan berpolitik, bukan sekadar meraih kekuasaan saja tetapi ada yang lebih tinggi yaitu kepentingan bersama,” ungkap Master Studi Strategis dari Universitas Aberdeen, Inggris ini. Ia juga mengapresiasi bahwa usai pemilu pun, masih ada lembaga Gereja yang melanjutkan diskusi, dialog, serta gerakan-gerakan lain untuk kembali merajut persatuan.

Menanggapi kepemimpinan transformatif yang digaungkan Uskup KAJ di awal tahun berhikmat, Nicky menuturkan model kepemimpinan ini sederhananya berarti berani membawa orang yang dipimpin kepada perubahan yang lebih baik. “Bila ada permasalahan, langsung ditanggapi, jangan dibiarkan berlarut-larut. Berani terbuka pada ide-ide baru sebab tanpa itu tidak akan ada lompatan transformasi,” katanya.

Menyikapi masalah dengan solusi dan bukan kritik bertubi-tubi adalah ciri kepemimpinan transformatif. Namun, ia menyebutkan, ada pula situasi di mana pemimpin berani melakukan lompatan jauh tetapi yang dipimpin sulit beradaptasi. “Misalnya organisasi kepemudaan Gereja, ada PMKRI, sebagai organisasi kaderisasi, mereka harus ada output yang jelas. Output ini juga harus sesuai dengan kondisi hari ini, revolusi 4.0, apakah sudah terhubung seperti itu atau tidak?”

Ia menambahkan, isu seperti ini harus sudah dibicarakan di dalam Gereja dan berani berubah. “Kita sudah lama berada di zona nyaman. Ke depan, kaderisasi di lapangan harus melahirkan pemimpin-pemimpin muda yang top, tidak harus politik, bisa juga pebisnis atau lainnya. Ini penting sekali.”

Nicky juga memberi catatan agar orang muda Katolik semakin dilibatkan dan diberi kepercayaan, termasuk mengupgrade diri, dalam artian memperluas cakrawala berpikir. “Daya jangkau berpikir ini menentukan sekali, karena anak muda adalah aktor penentu terjadi atau tidaknya transformasi. Menurut saya, ke depan orang muda tak hanya diberi kesempatan dan ruang tetapi juga didorong, dibantu untuk mengatualisasikan dirinya. Kapabilitas harus di-upgrade agar kita tidak ketinggalan.”

Pada titik tertentu, ia menilai Gereja ketinggalan karena kaderisasi belum menghasilkan calon-calon pemimpin handal, yang mestinya sudah mulai kelihatan saat ini. “Kadang-kadang ada, tapi tidak tertangkap radar Gereja. Kita harus mulai mencari talenta yang unggul lalu diarahkan untuk berkontribusi lebih banyak kepada Gereja dan negara,” tambahnya.

Selain isu-isu tersebut, Nicky menyampaikan yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah lingkungan hidup. “Penting bagi warga Gereja untuk semakin bergandengan tangan merawat “rumah bersama” ini.”

Hermina Wulohering

HIDUP NO.52 2019, 29 Desember 2019

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here