Merawat Pancasila, Menjaga Keutuhan

260
Yudi Latif bersama para Uskup memperagakan salam Pancasila.
[Dokpen KWI/Y. Indra]
2.3/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Pancasila bukan sekadar konsep. Ideologi dasar bangsa itu perlu dibumikan. Mentransfer teladan baik merupakan salah satu upaya untuk mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila.

Wawasan tentang Pancasila di kalangan pelajar dan kaum muda mulai anjlok. Materi pembelajaran mengenai ideologi dasar bangsa ini di berbagai lembaga pendidikan, juga kurang greget baik isi maupun metodologi. Tak pelak, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila kurang tertanam dalam diri anak bangsa. Kesan itu disampaikan oleh Kepala Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP PIP), Yudi Latif, di hadapan para uskup dan sekretaris eksekutif seluruh komisi Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), di kantor
KWI, Jalan Cut Meutia, Jakarta Pusat, Senin, 6/11.

Menanamkan nilai-nilai kepancasilaan kepada generasi zaman now, terang Yudi, tak cukup hanya di tataran teoritis dan abstrak. “Generasi milenial butuh simbol nyata. Harus ada ikon-ikon yang membentuk kesadaran sehingga Pancasila lebih mudah diserap orang muda, misal melakukan salam Pancasila,” paparnya, seperti dilansir Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI.

Persimpangan Jalan
Warga Indonesia, menurut penulis buku Negara Paripurna: Historitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila, saat ini berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, jutaan warga bangsa ini telah bertranformasi, dari citizen menjadi netizen, komunitas global dengan lintas pergaulan internasional. Tapi di sisi lain, koneksi dan rasa solidaritas kebangsaan kian rapuh dan renggang.

Silakan tengok isi “lalu-lintas” media sosial di Indonesia. Ujaran kebencian dan meniadakan keberadaan orang lain marak berseliweran, terang Yudi. Padahal, keberagaman yang dimiliki bangsa ini menjadi harta karun serta magnet perhatian bagi bangsa-bangsa lain. Ironisnya, keluh Yudi, ketika berbagai bangsa memuji kebhinnekaan Indonesia, warga Indonesia justru menegasikan kemajemukan.

Doktor Sosiologi Politik dan Komunikasi dari Australian National University ini menyarankan, agar Pancasila menjadi penyebut bersama, untuk menyatukan berbagai keragaman–bukan menyeragamkan keberagaman. Ia menganalogikan, Pancasila bak penyebut bersama dalam ilmu matematika. Tanpa penyebut bersama, setiap bilangan pecahan tidak bisa dipersatukan. “Nilai-nilai Pancasila tidak bisa hanya diawang-awang, tapi harus bisa dibumikan,” sarannya.

Cara lain untuk mendiseminasikan keutamaan itu, menurut Romo Felix Supranto SSCC dengan memberikan teladan baik atau contoh langsung, terutama kepada anak-anak dan orang muda. Kepala Paroki St Odilia Citra Raya, Keuskupan Agung Jakarta itu diundang KWI untuk berbagi pengalaman selama membangun,  memperjuangkan, dan merawat dialog dan kerjasama dengan para tokoh dan warga lintas iman di wilayah Cikupa, Tangerang, Banten.

Romo Felix menyarankan, agar umat Katolik, terutama di KAJ, jangan sampai larut dengan kenyamanan sebagai kawanan kecil. Situasi tersebut, ujarnya, bisa membuai dan mengungkung pribadi dalam eksklusivitas, sehingga peka terhadap lingkungan sekitar. Maka, umat harus berani keluar dari zona nyaman dan meretas perjumpaan dengan warga sekitar.

Pertama-tama, ia mengakui, pasti akan ada kekhawatiran atau kecanggungan. Tapi, ia mendorong agar perjumpaan harus terus dilaksanakan hingga menjadi kebiasaan. Ia meyakini, perjumpaan itu kelak menimbulkan kerinduan, mengikat persaudaraan, dan menumbuhkan kepercayaan. “Bila kepercayaan sudah tumbuh, tak ada lagi sekat-sekat yang membentengi kedua pihak,” ungkapnya dengan yakin.

Manfaatkan Media
Ketua Jaringan Gus Durian, Alissa Wahid mengakui, para pemuka agama menjadi salah satu tokoh sentral dan vital dalam merawat keberagaman dan memperkuat nilai-nilai kebangsaan. Alissa menyarankan, agar para pemuka agama berani memanfaatkan media sosial untuk menenangkan kepala dan hati umat. Apalagi, menurutnya, pada 2018 dan 2019 situasi kebangsaan akan semakin memanas. Pada tahun tersebut akan berlangsung Pemilihan Kepala Daerah serentak di 171 daerah, serta Pemilihan Legislatif dan Pemilihan
Presiden pada 2019. “Para pemuka agama jangan ragu-ragu atau merasa sungkan memakai Twitter, Facebook, atau sarana kekinian untuk pembelajaran bagi umat, sehingga rasa kebangsaan bisa ditumbuhkembangkan untuk mencegah intoleransi,” ajak putri sulung Presiden keempat RI Abdurrahman Wahid kepada para Uskup.

Jagat maya bisa menjadi ladang kenabian baru bagi para pemuka agama. Sebab, menurut Romo A. Eddy Kristiyanto OFM, salah satu sumber potensi yang bisa menggoncang dan memecah belah Indonesia, salah satunya adalah ujaran kebencian di media sosial yang semakin marak. Selain itu, Guru Besar Sejarah Gereja STF Driyarkara Jakarta ini menuturkan, peran konkret Gereja Katolik untuk membangun keindonesiaan dimulai dari pinggir. Berdasarkan sejarah, beber Romo Eddy, pada abad silam, orang-orang Barat berusaha menguasai perekonomian dan rempah-rempah. Komoditas itu terdapat di bagian timur, seperti Maluku Utara, Ternate, Tidore, serta Banda.

Di wilayah pinggiran itulah, lanjut penulis buku Seandainya Indonesia Tanpa Katolik, para misionaris mempertaruhkan segala untuk menjumpai gambar dan citra Allah. “Kalau melihat dokumen dan laporan historis para misionaris daerah terbelakang yang tidak diketahui oleh dunia bisa dikenal karena ditulis oleh para misionaris,” tandasnya.

Daerah terisolasi di pedalaman tak akan terbuka, tanpa masuknya warga Gereja ke wilayah itu. Mereka meretas jejak dengan berjalan kaki hingga menggunakan pesawat terbang. Karya yang dipelopori Gereja Katolik ini praktis dijalankan tanpa bantuan sepeser pun dari pemerintah. “Keindonesiaan dalam banyak hal perlu dirintis dari pinggir, dari keterbatasan, dari lapangan berlumpur, dari jalan tikus, dan bukan dari pusat kekuasaan dan keramaian,” tegas mantan Sekretaris Komisi Teologi KWI ini.

Munculnya keindonesiaan, lanjut Romo Eddy, juga tak terlepas dari pengaruh dan pengalaman keterkungkungan. Dalam kaitan ini, Gereja Katolik ikut serta mendobrak ketidakadilan bagi kaum perempuan dan memelopori pendidikan asrama. Bentuk emansipasi awal ini dimulai dengan pendidikan ala Mendut dan Tomohon, yang diprakarsai para Suster Hetheysen (Ordo St Fransiskus Semarang).

Romo Eddy menambahkan, ada lima komponen utama yang membangun konsep dan wawasan keindonesiaan yang saling berkelindan, yakni keragaman, keterbukaan, kebersamaan, religiositas, dan ketersebaran. Kelima butir tersebut berjalan seiring dengan butir-butir ideologi dan asas negara ini, yaitu Pancasila. “Inilah saatnya menginisiasi Pancasila Theology, mempromosikan, meneliti, dan mengajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan gerejawi sebagai salah satu sumbangan kepada bangsa ini,” sarannya.

Ingin Mengingatkan
Dalam catatan sejarah Gereja Katolik Indonesia, topik mengenai kebhinnekaan, kerja sama dan dialog antarwarga, peran umat Katolik sebagai warga negara, serta Pancasila pernah dibahas KWI sekitar 30 tahun lalu (saat itu KWI masih bernama Majelis Agung Waligereja Indonesia/MAWI). Selain itu, tema tersebut juga pernah dibahas dalam Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia tahun 2000.

Bergulirnya topik itu dalam Hari Studi dan Sidang Tahunan KWI tahun ini ingin mengingatkan umat Katolik, agar terus melestarikan dan mengembangkan keragaman yang dimiliki bangsa ini. Sebab, semua itu adalah anugerah Tuhan. Hari Studi dan Sidang Tahunan KWI yang mengusung tema “Gereja yang Signifikan dan Relevan, Panggilan Gereja Menyucikan Dunia” menghadirkan juga Direktur Eksekutif Charta Politika Paulus Julius Yunarto Wijaya dan Komisioner Ombudsman RI Adrianus Meliala.

Yanuari Marwanto

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here