Yustinus Prastowo : Kanonisasi Paus Pembela Kehidupan

812
Paus Paulus VI.
[vaticannews]
2.7/5 - (3 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Paus Benediktus XVI menjuluki Paus Paulus VI sebagai “manusia super”, karena seruannya tentang martabat manusia, ketimpangan, kemiskinan, keadilan, dan perdamaian.

Paus Fransiskus telah menetapkan rencana kanonisasi Paus Paulus VI dan Uskup San Salvador Oscar Romero pada 14 Oktober 2018, berbarengan dengan Sinode Uskup tentang kaum muda di Roma. Sebuah keputusan yang patut disambut dengan sukacita. Lalu makna dan inspirasi apa yang dapat ditimba oleh Gereja dan dunia saat ini?

Sebagaimana Uskup Romero yang menjadi martir lantaran wafat saat memimpin Misa, Paus Paulus VI pun memimpin Gereja dalam pusaran sejarah yang hampir sama, yakni dunia yang berubah, penuh gejolak, dan tak menentu arahnya. Paus Paulus VI bernama lengkap Giovanni Battista Enrico Antonio Maria Montini, dilahirkan 26 September 1897. Kardinal Giovanni adalah Uskup Agung Milan Italia ketika 21 Juni 1963 terpilih sebagai pengganti Paus Yohanes XXIII yang mangkat 3 Juni 1963. Paus Paulus VI bertakhta sejak 21 September 1963 hingga 6 Agustus 1978. Beliau menciptakan dan melewati banyak peristiwa penting dalam sejarah Gereja dan dunia, dan dijuluki ”Paus Yesaya” karena Hamba Allah yang bertugas pada masa paling sulit.

Betapa tidak. Paus Paulus VI harus melanjutkan tugas maha besar yang belum tuntas, yakni Konsili Vatikan II. Sebagaimana diketahui, pendahulunya Paus Yohanes XXIII membuat kejutan besar dengan menyelenggarakan Konsili Vatikan II, yang dimaksudkan bukan untuk merumuskan ajaran baru melainkan membuka diri dan menyelaraskan gerak
Gereja dengan denyut dunia kontemporer (aggiornamento). Angin pembaruan yang bertiup tentu menggembirakan, selain juga mengkhawatirkan lantaran arah Gereja ke depan belum sepenuhnya jelas. Toh Konsili harus dituntaskan, dan 23 September 1963, di tengah keraguan dan ketidakpastian, Paus Paulus VI memutuskan untuk melanjutkan Konsili yang kelak dikenang dunia sebagai tonggak maha penting dan salah satu monumen sejarah yang tak pernah terlupakan.

Di sisi lain, situasi dunia semakin tidak menentu karena Perang Dingin antara Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat yang liberal dan Blok Timur di bawah kendali Uni Soviet yang berideologi komunis. Beberapa perang pun masih berkecamuk, antara lain Perang Vietnam yang legendaris. Pada masa itu gerakan “Tuhan telah mati” sebagai pengejawantahan ateisme dan skeptisisme pada agama semakin marak, termasuk gelombang feminisme yang menggugat dominasi patriarki dan kesucian perkawinan, dan berujung pada pembebasan seksual yang berlawanan dengan moralitas Katolik. Toh Paus Paulus VI bergeming dan teguh pada pendiriannya. Kegigihannya menempuh jalan dialog membuatnya dijuluki ”Paus dialog”. Paus Paulus VI akhirnya menuntaskan Konsili Vatikan II pada 8 Desember 1965, dengan menghasilkan 16 dokumen yang bernada optimistik dan akan menjadi dasar Gereja Katolik mengarungi dunia modern.

Bertolak dari ensiklik Pacem in Terris yang ditulis Paus Yohanes XXIII 11 April 1963, ia meretas dialog dengan bangsa-bangsa untuk mengupayakan perdamaian dan keadilan. Pemikiran dan keberpihakannya dituangkan dalam ensiklik Populorum Progressio atau tentang pembangunan dan kemajuan bangsa-bangsa yang fenomenal, solid, dan menantang. Paus menekankan pentingnya solidaritas menjadi pondasi moral bagi tata hubungan baru bangsa-bangsa, yang tak sekadar mengejar keuntungan ekonomi melainkan juga upaya pengentasan orang miskin dan penurunan ketimpangan. Atau dalam bahasa teolog Allan Figueroa Deck SJ, ensiklik ini paling sistematis, menggunakan metode ilmiah modern, kaya refleksi, menyentuh aspek-aspek baru, dan memiliki signifikansi dan kemendesakan.

Paus Yohanes Paulus II melalui ensiklik Sollicitudo Rei Socialis mengakui jejak tak terputus Populorum Progressio dari Rerum Novarum Paus Leo XIII, bahkan Paus Benediktus XVI mempersembahkan Ensiklik Caritas in Veritate sebagai penghormatan atas Populorum Progressio. Paus Paulus VI menyerukan perdamaian dan keadilan bukan hanya dari tulisan, melainkan tindakan. Ia berkunjung ke negara-negara untuk meretas dialog dan perdamaian, termasuk menyapa kaum miskin di Kalkuta, Manila, dan Medellin.

Pada tahun 1975, melalui Seruan Apostolik Evangelii Nuntiandi, Paus Paulus VI mengajak seluruh umat Katolik berjalan pada jejak Konsili Vatikan II sebagai Gereja yang terus-menerus belajar dan mendengar. Alih-alih menjadi pengajar, Gereja seyogianya menjadi saksi iman, dan ketika harus mengajar biarlah pengajaran itu merupakan buah dari kesaksian iman. Paus menegaskan panggilan dan harapan ilahi untuk hidup sederhana, bertekun dalam doa, rendah hati dan taat, beramal kasih, dan berbela rasa. Sikap rendah hati yang juga sekaligus mencerminkan pembaruan paradigmatik kekuasaan dan kedudukan Paus dalam struktur Gereja Katolik pasca Konsili Vatikan II.

Untuk mengejawantahkan dan mendagingkan spirit kolegial Konsili, Paus Paulus VI mendirikan Sinode Uskup dan menyelenggarakan sinode pertama kali pada tahun 1967. Tradisi yang berlanjut hingga saat ini. Paus Paulus VI juga melakukan pembaruan liturgi selaras dengan visi Konsili, terutama dukungan pada vernakularisasi, partisipasi aktif umat, dan porsi yang lebih besar pada ”Sabda dan Sakramen”. Tak berhenti di situ, untuk menegaskan kesinambungan ajaran Gereja, Paus Paulus VI mengeluarkan Ensiklik Humanae Vitae yang menyedot perhatian luas dunia selama beberapa dekade. Ensiklik ini kontroversial karena dipahami hanya dalam konteks melarang kontrasepsi buatan. Lebih dari itu, Paus ingin menegaskan ajaran Gereja yang abadi yakni penghormatan pada hubungan seksual yang bermartabat sebagai tanda kasih dan tanda kehidupan. Yang hendak dilawan Paus pertama-tama adalah ”mentalitas kontraseptif” yakni dehumanisasi seksualitas.

Satu hal yang jarang diketahui adalah Paus Paulus VI telah menyerahkan surat pengunduran diri sejak 2 Mei 1965 sebagai upaya berjaga-jaga jika kondisi kesehatan memburuk sehingga tak memungkinkan mengemban amanat. Paus memohon kepada Dewan Kardinal untuk diizinkan mundur sewaktu-waktu dan menyerahkan mandat kepada Dewan Kardinal. Selain menyadari pentingnya tanggung jawab seorang Paus sekaligus beratnya tantangan, hal ini mencerminkan kerendahan hati Paus Paulus VI. Demistifikasi kekuasaan seorang Paus telah dirintis agar Gereja lebih leluasa menghadapi dunia yang berubah amat cepat.

Kini kita patut bersyukur karena Paus Fransiskus memutuskan kanonisasi Paus Paulus VI. Selain mukjizat yang dialami beberapa saksi sebagai syarat kanonisasi, seluruh catatan pengabdian Paus Paulus VI adalah mukjizat Tuhan bagi Gereja dan dunia. Kerendahan hati, kesediaan mendengar, kemampuan berdialog, kegigihan mengupayakan perdamaian dan
keadilan adalah ciri dan laku kekudusan. Hidupnya menginspirasi tidak hanya orang Katolik, melainkan banyak tokoh dunia bahkan peradaban itu sendiri. Menilik hari-hari ini, seruan kenabian Paus Paulus VI tentang martabat manusia, ketimpangan, kemiskinan, keadilan, dan perdamaian nyaring bergema kembali. Tak salah kiranyajika Paus Benediktus
XVI menjulukinya sebagai ”manusia super”. Ia wafat 6 Agustus 1978, saat dunia mengenang tragedi Hiroshima dan memperingati Hari Raya Transfigurasi. Dimuliakanlah Santo Paulus VI, biarlah dunia bersukacita!.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here