Cerita Penjaga Suluh Pendidikan

246
Siswa SD Kanisius Kenalan bermain egrang dalam PEKOK.
[Dok.RAK]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Perubahan zaman kian mengubah karakter manusia. Namun tiga garda depan pendidikan ini tetap setia merawat nilai-nilai Kanisius bagi kemuliaan Allah yang lebih besar.

Hembusan angin dari lereng Gunung Menoreh membawa suara lantang anak-anak SD Kanisius Kenalan, Borobudur, Magelang, Jawa Tengah. Setiap hari, anak-anak yang kebanyakan datang dari keluarga petani ini harus menapaki bukit untuk menuntut ilmu. Kaki kecil mereka tak kenal lelah. Suara mereka demikian kencang kala menyanyikan mars lagu Republik Anak Kenalan, organisasi siswa yang terbentuk pada 17 Agustus 2007. “Anak-anak Kenalan selalu mencinta lingkungan dan sesama, karya dan budaya agar kelak jadi insan yang berguna”.

SD Kanisius Kenalan adalah salah satu sekolah pinggiran yang berada di bawah Yayasan Kanisius. Banyak anak-anak petani bersekolah di tempat ini. Namun, sejak tahun 2007 hingga 2011, SDK Kenalan mengalami penurunan jumlah siswa. Hal ini merupakan dampak dari pemisahan dua sekolah di tahun 2006.

Selain itu, di dekat SD Kanisius Kerug Munggang, Magelang yang telah ditutup, berdirilah sekolah negeri. Setiap tahunnya sebagian anak di daerah itu memilih masuk ke sekolah negeri karena gratis. Pada tahun 2011 juga berhembus kabar bahwa SDK Kenalan akan ditutup juga. Akibatnya, terjadi penurunan peminat pada SDK Kenalan.

Demi mempertahankan kelangsungan sekolah, yayasan berharap jumlah siswa setidaknya dapat mencapai sekitar 75 anak. Meskipun sampai saat ini, sasaran jumlah belum tercapai, namun, SD Kenalan sudah bisa memiliki sebanyak 71 orang siswa. Kurang lebih selama empat tahun terakhir, jumlah pelajar menunjukkan kenaikan. Umat di wilayah Desa Kenalan pun selalu mengupayakan agar SDK Kenalan tetap ada membangun desa.

Inovasi Kontekstual
SDK Kenalan juga turut berupaya untuk meningkatkan kualitas dan mutunya agar siswa semakin betah dan tertarik untuk menimba ilmu di tempat ini. Kepala Sekolah SDK Kenalan, Yosef Onesimus Maryono menyatakan, “Kami sebagai sekolah yang ada di pinggiran tetap bisa bertahan dengan mengolah kurikulum sekreatif mungkin.” Ketika salah satu SD Kanisius ditutup, para guru mengajak para siswa berkumpul untuk menghimpun aspirasi. Hasil forum itu melahirkan sebuah komunitas anak yang disebut Republik Anak Kenalan (RAK). “Komunitas RAK masih bertahan hingga kini karena memang dicipta untuk memperkuat karakter anak yang berlatarbelakangkan keluarga petani,” ujar Onesimus, sapaan akrabnya.

RAK memiliki enam komunitas basis yakni Wiji Thukul di bidang pertanian; Blekothek (biar jelek otak harus melek) di bidang kesenian dan estetika; Basis Lintang Menoreh berfokus pada giat literasi; Guyub Maryam berdevosi kepada Maria; Canthang Kumandang (paduan suara); dan Turangga Siswa Arga (Tarian Tradisional). Selain itu, SD Kanisius Kenalan masih memiliki kegiatan Pramuka.

Bak sebuah “republik”, RAK dikoordinir oleh presiden dan para menteri. Presiden pun dipilih setiap semester laksana melalui pemilu sebenarnya yang diikuti oleh tiga partai Lintang Menoreh (Menulis), Wiji Thukul (Pertanian), dan Kembang Latar (Estetika). “Dari RAK inilah, beberapa pihak peduli dan terlibat dengan kegiatan SDK Kenalan. Mereka menjadi kawan untuk keberlanjutan SDK Kenalan,” ungkap kelahiran Kulon Progo ini.

SD Kanisius yang sudah berdiri selama 88 tahun ini juga mencoba berinovasi untuk mengangkat pelajaran yang kontekstual seperti pertanian dan baca Kitab Suci yang berbasis pada mencintai alam. Pelajaran itu antara lain ‘Tilik Belik’ (mengunjungi sumber mata air) dilakukan setiap bulan Maret. Tujuan kegiatan ini untuk mengajak anak memiliki perhatian khusus kepada air, karena area tempat tinggal mereka termasuk daerah yang mulai kekurangan air.

Selain itu ada kegiatan Napak Tilas Barnabas Sarikarma, katekis pertama Kalibawang. Nama Barnabas sendiri dijadikan nama Komunitas Barisan Anak Pembawa Sukacita (Barnabas). Di samping itu, setiap tahun ganjil diadakan Pekan Olahraga Kenalan (PEKOK) yang mempertandingkan permainan tradisional seperti gobag sodor, egrang, dakon, damdaman, boiboinan, tarik tambang, engkling, dan bekelen. Sedangkan pada tahun genap diadakan Pekan Kitab Suci (PEKIK) agar siswa mampu mendalami salah satu sumber iman Katolik. “Pendidikan yang berhasil adalah yang memperhitungkan Kearifan Lokal. Maka untuk menyelamatkan sekolah ini kami mengumandangkan slogan Sekolah Kehidupan karena dari sanalah nilai Kanisius dikedepankan, ” tandas Onesimus.

Ditantang
Persoalan remaja masa kini kian kompleks. Remaja sekarang mampu mengakses pelbagai informasi. Terkadang keputusannya pun diambil hanya lewat pertimbangan informasi yang diterima melalui media sosial. Kepala Sekolah SMP Kanisius Gayam Yogyakarta, Nur Sukapti memiliki pengalaman berkesan ketika ditantang oleh salah seorang muridnya untuk berkelahi.

Sang murid ini terkenal sering bolos dan terjerat budaya kekerasan yakni tawuran. Berulang kali Nur menasehatinya tetapi malah tantangan berkelahi yang ia dapat. Sempat terbersit amarah namun ia ingat bahwa tugas pendidik Kanisius adalah mencintai para murid. Maka, ia pun tak bosan mendekati sang murid dan selalu menasehatinya agar berubah. Akhirnya, ketika ia dipindahtugaskan sang anak yang sering melawan itu malah memrotes keputusan tersebut. Ia tidak rela, karena sepengetahuan dia seseorang yang dimutasi adalah mereka yang mendapat hukuman.

Nur hanya ingin berbagi kasih. Ia menghidupi nilai Kanisius dengan menitikberatkan pendidikan yang tidak hanya fokus dengan kemampuan akademis melainkan karkater. Karakter itu ialah kasih, disiplin, cerdas, berani, dan jujur. Ia melanjutkan, hanya dengan teladan kasihlah, murid dapat memiliki keutaman karakter Kristani. “Mendidik dengan keseluruhan hati dan berbagi kasih dengan anak didik adalah semangat Kanisius yang harus terus menerus dihidupi oleh para pendidik,” ujarnya.

Kepala Sekolah SD Kanisius Kurmosari Semarang, Khatarina Ika Wardhani, juga pernah mengalami pengalaman serupa. Namun, ia ditantang dengan jawaban kritis salah satu anak murid yang mempertanyakan mengapa pepohonan ditebang untuk membangun gedung baru. Ini berlawanan dengan nasihat para guru meminta mereka untuk menjaga lingkungan?

Dengan lembut, Ika sapaan akrabnya, meladeni tanggapan kritis itu. Ia menyampaikan bahwa penebangan pohon itu salah dan pihak yang menebang tidak memberitahu pihak sekolah. Untuk itu, ia mengajak sang murid untuk melakukan pertobatan ekologis. Murid kecil itu pun menyarankan agar sekolah membagikan bibit pohon kepada warga di sekitar lingkungan sekolah sebab sekolah sudah tidak punya lahan lagi untuk menanam. Jika lingkungan asri sekolah pun terselamatkan.

Berangkat dari pengalaman itu, Ika pun membentuk sebuah tim peduli yang terdiri dari 40 siswa bernama “Rescue Team”. Mereka berkerja dengan harus menghidupkan lima nilai Kanisius. Seksi sosial mengurusi poin kasih dengan mengadakan kunjungan ke panti jompo. Seksi intelektual mengurusi kecerdasan dengan mengasah kemampuan pandai berbicara di depan umum. Seksi keamanan mengurusi kedisiplinan. Seksi kreatifitas mengurusi keberanian. Seksi kejujuran melatih integritas dengan menyediakan galon air minum dan tiap mengambil air, siswa harus membayar Rp 500.

Terbentuknya tim ini merupakan salah satu implikasi dari model pendidikan PPR (Paradigma Pedagogi Reflektif). Metode pembelajaran melihat pada proses yang kemudian mengajak siswa berefleksi untuk menentukan langkah apa yang akan diambil. Bagi Ika, perjalanan seabad Kanisius adalah proses reflektif, “Jadi,100 tahun itu bagaikan kami harus berangkat dari langkah nol untuk menuju lebih baik lagi.”

Felicia Permata Hanggu

HIDUP NO.46 2018, 18 November 2018

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here