Pohon Cinta Untuk Nusa Bunga

326
Indonesia: Romo John Oh Wong-jin bersama para pemrakarsa pelayanan Kkottongnae di Keuskupan Ruteng.
[HIDUP/Benidiktus W.]
3/5 - (2 votes)

HIDUPKATOLIK.com – Gerak Roh Kudus tidak bisa dibatasi. Tetapi, Ia membutuhkan tangan-tangan manusia. Cinta bukan kata-kata, tetapi mewujud dalam tindakan nyata.

Mulanya, 2009, Gaye Pudjiadi mendapat tawaran dari Romo Yohanes Indrakusuma CSE, untuk mengikuti International Catholic Charismatic Renewal Services (ICCRS) yang berlangsung awal Juni 2009, di Kkottongnae. “Saya tidak tahu apa-apa. Saya pikir, bolehlah jalan-jalan ke Korea,” ungkap Gaye.

Gaye tak pernah berpikir bahwa kepergiaannya ke Kkottongnae ini akan “berbuntut” pendirian Kkottongnae di Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng. Pada acara konferensi itu, ungkapnya, pada mulanya ia bahkan sangat enggan untuk mengikuti dua hari pertama dengan acara orientasi keliling Kkottongnae. Ia hanya ikut-ikutan, lantaran Romo Yohanes ingin melihat fasilitas Kkottongnae. “Luar biasa! Luasnya puluhan kali biara CSE Cikanyere. Waktu itu, hadir ribuan orang. Pulang dari Korea, saya ingin kembali, tetapi tak tahu caranya,” ungkap Gaye.

Dua tahun berlalu, Gaye menerima surat elektronik dari Br James Shin Sang- Hyun. Isi surat itu adalah undangan untuk mengikuti Love and Action School, sebagai tindak lanjut ICCRS 2009 yang bertema “Love in Action”. Br Shin, seorang dokter spesialis yang kemudian menjadi satu dari sepuluh bruder generasi pertama Kongregasi Kkottongnae. Kini, ia adalah pemimpin biara, kepala rumah sakit, juga dosen Bioetika di Kkottongnae, juga mendalami Karismatik Katolik dan penyembuhan luka-luka batin.

Menerima undangan itu, dengan penuh suka cita, Gaye mewartakan kabar itu kepada teman sekomunitas, yakni Persekutuan Doa Keluarga Kudus Nasareth. Akhirnya, 14 perempuan berangkat ke Kkottongnae, Oktober 2011.

“Semuanya perempuan, para istri. Kami di sana belajar untuk melayani dengan kasih. Nyatanya, justru kami yang dilayani oleh orang-orang cacat. Saya sungguh haru menyaksikan seorang perempuan berbaring tak berdaya, dan disuapi dengan menggunakan kaki oleh orang yang memang tidak punya tangan. Mereka terlihat bahagia. Tidak ada orang yang tidak berguna di tempat ini. Saya berpikir, inikah surga? Saya kagum pada ibu ini. Di Kkottongnae, ia tergolek di kursi roda. Tetapi, ia punya tugas. Di kapel, setiap hari ia mendoakan Kkottongnae. Entah mengapa, saya berpikir orang ini seperti Bunda Maria,” Gaye berbagi pengalaman rohaninya.

Selama Love and Action School, para peserta diajak mengalami keseharian Kkottongnae: menyuapi pasien, juga membagi makanan ke stasiun bawah tanah tempat para gelandangan tinggal. “Dalam kunjungan, kami bertemu pengemis sakit parah. Lalu, seorang bruder memanggil ambulan. Orang ini dibawa ke rumah sakit Kkottongnae. Mereka dipeluk, dimandiin. Para suster dan frater ini, kalau melihat pengemis, mereka akan berhenti dan mengajak mereka ‘pulang’. Tetapi, memang banyak yang tidak mau. Ada juga yang ‘mental problem’. Saya takut, tetapi para bruder dan suster ini bisa menyapa secara manusiawi,” cerita Gaye.

Mengajak Suami
Pengalaman cinta membekas di hati para ibu. Mereka saling berbagi peng alaman. Hampir semua berpikir untuk mengajak juga para suami untuk mengikuti Love and Action School berikutnya. Singkat cerita, keinginan itu terjadi. Mereka kembali ke Kkottongnae, Mei 2012, untuk mengikuti Love and Action School. Kali ini para suami berbincang seputar pertanyaan ini: Ngapain kita datang kalau cuma melihat? Mengapa tidak kita bikin di Indonesia?”

Perbincangan makin serius, Br Shin mengatakan, untuk membangun Kkottongnae di Indonesia, yang diperlukan adalah komitmen. Adalah Romo John Oh Woongjin, yang kemudian menantang pasangan suami istri (pasutri) Gaye-Lukman Pudjiadi. “Ibu punya hotel berapa? Maukah, menyumbangkan satu untuk Kkottong nae?

Tanpa ragu, Lukman menjawab: “Ya”.

Tentu, Romo Oh tidak sungguh-sungguh meminta hotel. Dan, kenyataannya hotel itu ditolak oleh Romo Oh. Tetapi, komitmen cinta untuk kaum papa di Indonesia terus tumbuh. Dan, Rabu, 3/6, batu pertama biara dan rumah untuk para lansia telah diletakkan di wilayah Gerejani Keuskupan Ruteng.

Mengapa Ruteng?
Tiga perempuan: Gaye, Nanny Tjandra, Hira Kuswanto, menjadi pemrakarsa dan menyatakan kesediaan untuk membangun biara dan rumah jompo ini. Tentu, banyak orang lain yang turut beramal kasih untuk mewujudkannya. Antara lain: Medy Sutojo, dan pasutri Sardjono-Ratna Sani, serta putra mereka Kevin Sani sebagai arsitek bangunan yang tidak meminta bayaran. Tanah seluas 7600 meter persegi, tempat biara dan panti ini dibangun, pun mereka yang membeli. Rumah ini akan dilengkapi dengan kamar sakit dan klinik kesehatan. Setelah selesai, semuanya akan diserahkan kepada Kongregasi Saudara dan Saudari Yesus Kkottongnae.

“Saya dan Ibu Nanny benar-benar merasa tersentuh. Jadi saya bilang: ayo do something.  Tetapi, kalau dipikir, saya gak tahu bagaimana ini semua terjadi. Saya juga tidak tahu bagaimana menjalaninya,” ungkap Gaye, di Hotel Jayakarta Labuan Bajo, usai peletakan batu pertama.

Gaye percaya bahwa semua ini tidak ada yang kebetulan. Memang, ia berpikir mendirikan di Flores, yang mayoritas Katolik, tentu akan lebih gampang. Tetapi, ia bahkan tidak tahu harus menghubungi siapa.

Pertemuannya dengan Uskup Ruteng Mgr Hubertus Leteng pun boleh dibilang suatu kebetulan. Ia berkenalan dengan Mgr Hubert dalam acara perhelatan perkawinan keluarga kenalan. Maka, Gaye menghubungi Mgr Hubert tentang kesediaan Kkottongnae membuka pelayanan di Indonesia. Mgr Hubert menanggapi positif. Ia berpikir, pertama-tama yang perlu dibangun adalah panti wreda. Alasannya, banyak imam Keuskupan Ruteng berasal dari keluarga tak mampu, dan kini mereka sudah mulai menginjak usia senja. Para imam ini perlu mendapatkan perawatan dan tempat tinggal yang layak.

“Ibu Gaye menceritakan tentang Kkottongnae kepada saya. Juga kesediaan Father Oh untuk melebarkan sayap pelayanan ke Indonesia. Saya bilang: Okelah. Mereka mengundang saya ke Korea. Saya melihat langsung karya Kkottongnae, persis seperti yang Ibu Gaye ceritakan. Waktu itu, Father Oh bertanya apakah Indonesia sungguh-sungguh mau mendirikan. Spontan, kita jawab ‘ya’. Lagi-lagi Father Oh menantang: Keluarkan semua uang yang ada di dompet kalian. Semua, kecuali saya, mengeluarkan uang dari dompet dan diserahkan kepada Father Oh. Inilah rupanya yang menjadi penilaian mereka bahwa kami sungguh-sungguh,” cerita Mgr Hubert, di tempat terpisah.

Tanda-tanda karya pelayanan semakin nyata. Romo Oh berkunjung ke Ke uskupan Ruteng. Mgr Hubert menunjukkan sejumlah tanah keuskupan yang bisa mereka pilih. Tetapi, karena akses jalan yang belum memadahi, Romo Oh tidak memilih tempat-tempat itu untuk memulai karya. Dan, karena itulah, Gaye, Nanny dan Hira, mengumpulkan dana dan membeli tanah yang kemudian di setujui oleh Romo Oh. Bangunan yang akan didirikan di tempat ini diperkirakan akan menelan biaya 13 milyar.

Rumah Kontrakan
Peletakan batu pertama pembangunan biara dan fasilitas pelayanan belum genap dua bulan. Tetapi, pelayanan cinta Kkottongnae di Labuan Bajo, sudah ber langsung. Sejak April 2014, dua biarawati Kkottongnae diutus melayani di Labuan Bajo. Salah satunya adalah Suster John, biarawati Kkottongnae angkatan pertama. Ia bahkan menyatakan ingin mengabdikan sisa hidupnya, dan dikuburkan di Flores.

Kedua suster ini, beberapa bulan mendapat fasilitas dan tinggal di Hotel Jayakarta. Setelah mendapatkan rumah kontrakan di desa Batu Cermin, mereka pun tinggal di rumah itu. “Saya harus jadi orang miskin untuk melayani orang miskin,” Gaye mengutip alasan mereka.

Dari rumah kontrakan inilah, dua suster Kkottongnae menyusur pasar, mencari orang sakit tak berdaya di rumah-rumah penduduk. Mereka menyapa orang “sakit jiwa”, memberinya makan, memotong rambut dan kuku mereka. Karya cinta ini juga memantik cinta para relawan. Misalnya, dokter Maria yang kesehariannya bertugas di Puskesmas. Bupati Manggarai Barat Agustinus Ch. Dula menyatakan kesanggupannya untuk membangun jalan, dari jalan utama menuju lokasi bakal rumah pelayanan dan biara Kkottongnae.

Biji “Pohon Cinta” telah dipetik dari Kkottongnae dan ditabur di Labuan Bajo, bagian barat Nusa Bunga – Flores. “Pohon Cinta” itu telah tumbuh.

Benidiktus W.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here