Uskup Pejuang, Martir Keadilan

722
Mgr Romero menemui Paus Yohanes Paulus II di Vatikan.
[entornointeligente.com]
Rate this post

HIDUPKATOLIK.com – Awalnya, ia dikenal sebagai pribadi yang konservatif. Seiring waktu, ia berubah menjadi pembela rakyatnya yang miskin dan tertindas hingga wafat ditembak. Ia martir keadilan dan iman.

Senin sore, 24 Maret 1980, diadakan Misa Requiem di Kapel Rumah Sakit La Divina Providencia, San Salvador, El Salvador. Misa ini dipimpin Uskup Agung San Salvador. Ia baru saja selesai mengikuti rekoleksi bertema imamat yang dipandu seorang imam Opus Dei, Pater Fernando Sáenz Lacalle – kelak menjadi Uskup Agung San Salvador (1995-2008).

Dalam khotbahnya, sang uskup merefleksikan perumpamaan gandum dan ilalang (Mat.13:24-30). “Mereka yang menyerah kepada pelayanan atas orang miskin melalui kasih Kristus akan hidup seperti biji gandum yang mati … Kita tahu, setiap usaha untuk memperbaiki masyarakat –terutama ketika masyarakat penuh dengan ketidakadilan dan dosa– merupakan upaya yang diberkati, dikehendaki, dan diminta Tuhan pada kita,” tegasnya.

Suasana duka bertambah pahit, saat persiapan persembahan. Tiba-tiba terdengar bunyi tembakan dalam Misa Requiem itu. Tak disangka, target timah panas adalah imam yang memimpin Misa. Sang uskup pun jatuh bersimbah darah. Nyawanya tak tertolong.

Tragedi pembunuhan menimpa Uskup Agung San Salvador, Mgr Oscar Arnulfo Romero y Galdamez, pukul 18.25 waktu setempat. Insiden ini hanya selang sehari pasca kritik pedasnya pada para pemimpin militer El Salvador yang melakukan penganiayaan, pembunuhan, penghilangan kaum buruh tani dengan keji. “Saudara-saudara, Anda berasal dari bangsa yang sama. Anda membunuh saudara- saudarimu kaum petani … Tak satu pun prajurit wajib mematuhi perintah yang bertentangan dengan kehendak Allah … Dalam nama Allah, dalam nama penderitaan rakyat, saya minta pada Anda –saya mohon pada Anda– saya memerintahkan Anda dalam nama Allah: Hentikan penindasan ini!” demikian kutipan khotbahnya pada Misa Minggu – sehari sebelum wafatnya – yang disiarkan melalui radio.

Seorang Konservatif
Kritik Romero terhadap penguasa lalim dan kejam itu sama sekali tak dapat ditemukan pada masa mudanya, bahkan ketika ia sudah memangku martabat episkopal. Anak kedua dari tujuh bersaudara pasangan Guadalupe de Jesús Galdámez dan Santos Romero ini dikenal sebagai figur konservatif. Saat menjadi Direktur dan Editor Buletin Keuskupan Agung San Salvador, corak tulisan yang dimuat kental sekali melukiskan ortodoksinya pada doktrin Katolik.

Maklum saja, Romero menyelesaikan studi lisensiat teologi di Universitas Gregoriana Roma. Setelah ditahbiskan sebagai imam 4 April 1942 di Roma, tanpa kehadiran keluarganya karena kondisi Perang Dunia II, ia melanjutkan studi doktoral dengan spesifikasi teologi asketis di tempat yang sama.

Romero baru pulang ke El Salvador 1944. Uskup kelahiran Ciudad Barrios, San Miguel, El Salvador, 15 Agustus 1917 ini kembali ke tanah air bersama rekannya, Pater Valladares. Mereka pulang melalui Spanyol, lalu ke Kuba. Di Kuba, mereka ditahan karena dicurigai sebagai antek Fasisme Mussolini. Mereka sempat mendekam beberapa bulan di penjara, yang membuat Valladares jatuh sakit. Beberapa imam di Kuba membantu mengurus mereka ke rumah sakit. Dari sinilah mereka berhasil meloloskan diri, lalu pulang ke El Salvador melalui Meksiko.

Setiba di El Salvador, Romero ditugaskan sebagai pastor paroki di daerah pinggiran. Ketekunan, kesalehan, dan kemampuannya mengantar Romero duduk sebagai Rektor Seminari Interdiosesan dan Sekretaris Keuskupan San Miguel. Meski dikenal konservatif karena mempertahankan magisterium tradisional Gereja dan sedikit skeptis dengan hasil pembaruan dalam Konsili Vatikan II (KV II), kinerjanya patut dibanggakan. Ia pendiam dan sangat rapi dalam administrasi. Tak heran, ia pun dipercaya menjadi Sekretaris Eksekutif Konferensi Para Uskup.

Pada 25 April 1970, Bapa Suci Paulus VI mengangkatnya menjadi Uskup Auksilier San Salvador, mendampingi Mgr Luis Chávez y González (1938-1977). Romero menerima tahbisan Uskup Tituler Tambeae pada 21 Juni 1970. Ia berusaha menjalankan tugas dari Uskup Agung San Salvador yang sangat progresif menginterpretasikan hasil KV II di bidang sosial kemanusiaan. Beberapa kali terjadi tegangan antara Mgr Romero dan Mgr Chávez sebagai buah dialektika konservatif dan progresif.

Tegangan itu ditengarai menjadi alasan Mgr Romero diangkat menjadi Uskup Santiago de Maria, 15 Oktober 1974. Banyak imam progresif sangat resah atas pengangkatan ini. Mgr Romero selalu menghindarkan diri dari keterlibatan Gereja dalam bidang sosial kemanusiaan yang berasaskan Ajaran Sosial Gereja (ASG). Resistensi rakyat atas penindasan pun mulai muncul. Kaum buruh tani membentuk kantong-kantong gerakan melawan kebijakan represif pemerintah melalui Komunitas Basis Gerejani yang menafsirkan ASG secara kontekstual. Namun, Mgr Romero tetap bergeming! Tahun 1975, ia bahkan mengkritik para imam yang progresif dan masuk ranah sosial-politik. Menurutnya, perbaikan El Salvador hanya bisa dilakukan melalui bekerja sama dengan pemerintah.

Kalangan imam dan umat yang progresif kian galau kala Bapa Suci Paulus VI mengangkat Mgr Romero menduduki Takhta Keuskupan Agung San Salvador, 3 Februari 1977. Reputasinya yang sangat konservatif dan kaku dinilai akan menjadi kendala perjuangan mengaktualisasikan nilai-nilai Injili di tengah negara yang mengalami represi terstruktur. Sementara itu, pemerintah menyambut baik pengangkatannya menjadi Uskup Agung San Salvador.

Titik Balik
Belum genap sebulan pasca pengangkatannya sebagai Uskup Agung San Salvador, terjadi pembunuhan atas sahabat karibnya, Pater Rutilio Grande SJ, 12 Maret 1977. Ia dibunuh bersama dua orang yang memberinya tumpangan kala menempuh perjalanan dari Aguilares ke El Paisnal. Belum usai duka atas kematian sahabatnya, seorang imam Keuskupan Agung San Salvador, Pater Alfonso Navarro ditemukan tewas dibunuh.

Mgr Romero memutuskan pergi ke El Paisnal untuk memimpin Misa menggantikan Pater Grande. Selain terpukul atas tragedi yang menimpa imamnya, ia tersentuh oleh kesaksian buruh tani yang dilayani Pater Grande. Budi dan hatinya mulai terbuka akan kesengsaraan yang dialami imam dan umatnya. Ia mengumumkan tiga hari berkabung.

Beberapa hari pasca kematian Pater Grande, Mgr Romero bersama 100 imam menggelar Misa Arwah di Katedral San Salvador yang dihadiri ribuan umat. Ia menyatakan dalam khotbahnya, Pater Grande dan dua rekannya merupakan ‘rekan kerja dalam perjuangan pembebasan Kristiani’. Ia menegaskan, setiap imam yang menjalankan misi dalam bidang keadilan sosial demi kebaikan dan kesejahteraan bersama, tak dapat dikategorikan sebagai politisi atau subversif. Banyak imam dan umat tersentak bahkan hampir tak percaya dengan apa yang mereka dengar dari mulut sang uskup.

Atas pembunuhan imam-imamnya, Mgr Romero berulang kali mendesak pemerintah untuk mengusut kasus itu hingga tuntas. Namun, pemerintah tak menggubris permintaannya. Alih-alih diam, ia mendeklarasikan dirinya tak akan hadir lagi atau mengutus orang untuk mewakili Keuskupan Agung San Salvador dalam acara seremonial dengan pemerintah.

Kian Frontal
Sontak pemerintah kaget atas sikap Mgr Romero yang menjadi garang menentang mereka. Sepak terjang alumnus Seminari San Miguel itu kian frontal. Suatu kali, ia membuat keputusan berani dengan meniadakan Misa Minggu di seluruh keuskupannya, kecuali di Katedral San Salvador. Ia mengundang seluruh imam dan umat Misa bersama di Katedral. Kesempatan ini ia gunakan sebagai konsolidasi perjuangan melawan ketidakadilan pemerintah El Salvador. Sekitar 100 ribu umat hadir dan mendengarkan kritik pedasnya atas kejahatan pemerintah.

Seolah dictum pencetus Teologi Pembebasan Pater Gustavo Guiterrez Merino OP tentang “Mengenal Tuhan berarti melakukan keadilan” ditegaskan oleh Mgr Romero yang tak pernah membaca buku-buku Teologi Pembebasan. Ia menerima buku- buku Teologi Pembebasan sebagai hadiah kala diangkat sebagai Uskup Agung San Salvador. Pasca wafatnya, buku itu ditemukan masih terbungkus rapi dalam plastik di raknya.

Mgr Romero lalu menyiarkan khotbah-khotbahnya berisi kritik pedas pada pemerintah secara langsung melalui radio juga daftar korban setiap minggu. Buletin Orientacion ia gunakan untuk perjuangan melawan ketidakadilan sosial di negaranya. Ia juga menempuh jalur diplomasi dengan meminta intervensi dunia internasional atas konflik berkepanjangan di El Salvador. Namun, seruannya dianggap angin lalu. Ia berkirim surat kepada Presiden Amerika Serikat Jimmy Carter (1977-1981) agar menghentikan dana bantuan militer pada pemerintah El Salvador karena bantuan itu hanya digunakan untuk membunuhi rakyatnya. Permohonan itu tak digubris Jimmy Carter.

Tahun 1979, Mgr Romero berjuang untuk dapat beraudiensi dengan Bapa Suci Yohanes Paulus II. Berulang kali permohonan audiensinya ditolak. Namun berkat kepiawaiannya, ia dapat bertatap muka dengan Bapa Suci dan memaparkan tujuh kasus detil yang melukiskan pembunuhan, teror dan kekejaman, serta penculikan dan penghilangan orang. Ia nekad menemui Paus karena sepanjang 1979 ia kehilangan empat imam, ratusan katekis dan ribuan umat dibunuh.

Tahun 1980, dana militer AS bagi El Salvador dihentikan. Pada Februari 1980, Mgr Romero berkesempatan memberikan kuliah umum di Universitas Louvain, Belgia. Perjuangannya melawan ketidakadilan sosial dan kejahatan kemanusiaan di El Salvador mulai dilirik dunia internasional. Tak heran, ia mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Louvain. Diam-diam, dunia internasional mengusung namanya sebagai penerima Nobel Perdamaian. Baru setelah dia wafat, penghargaan itu dianugerahkan kepada Mgr Romero pada 1981.

Mahkota Kemartiran
Aktivitas dan intensitas perjuangan Mgr Romero pasca kematian Pater Grande terus meningkat. “Ingat Monsinyur, jubah bukanlah pakaian antipeluru!” demikian bunyi salah satu ancaman yang diterima Mgr Romero. Namun keberaniannya tak surut sedikit pun. Demi 80 ribu jiwa yang tewas, hilangnya 300 ribu orang, dan jutaan orang miskin yang menjadi pengungsi di negeri sendiri, ia terus menghadir kan Kristus di tengah derita umatnya.

Wisma Keuskupan ia buka setiap musim panen. Buruh menggunakannya sebagai tempat menginap. Dana keuskupan dan uang pribadinya ia gelontorkan demi perjuangan membela umatnya yang miskin dan tertindas. Seruannya setiap minggu dapat didengarkan melalui radio dan dibaca dalam Buletin Orientacion.

Totalitas membela umatnya yang miskin dan tertindas berakhir di ujung senapan. Mgr Romero wafat ditembak saat memimpin Misa di Kapel Rumah Sakit La Divina Providencia, San Salvador, 24 Maret 1980. Upacara pemakamannya digelar pada 30 Maret 1980 di Katedral San Salvador. Lebih dari 50 ribu umat menyemut untuk memberikan penghormatan terakhir bagi uskup pejuang keadilan itu. Paus Yohanes Paulus II mengirim utusan Uskup Agung Distrik Federal Meksiko, Kardinal Ernesto Corripio y Ahumada, untuk menghadiri Misa Pemakamannya. Dalam pesan yang disampaikan Kardinal Ahumada, Paus menyebut Romero sebagai “pejuang damai Allah yang terkasih”. Darahnya akan menghasilkan buah persaudaraan, kasih, dan perdamaian” di El Salvador.

Tak disangka, upacara pemakaman itu menjadi ajang pembantaian. Saat upacara berlangsung, bom menggelegar diplaza depan katedral yang dijejali ribuan umat. Pasca ledakan, terdengar bunyi tembakan dan desingan peluru bertaburan dari gedung di sekitar plaza. Umat berhamburan tak terkendali. Alhasil, huru-hara itu memakan sedikitnya 40 korban jiwa dan ratusan orang mengalami luka-luka.

Beatifikasi Alot
Jenazah Mgr Romero akhirnya dimakamkan di Katedral San Salvador, menjadi simbol keteladanan dan perjuangan seorang gembala yang membela kawanan dombanya. Pasca wafatnya, rakyat El Salvador menyebutnya sebagai San Romero, Uskup Agung dan Martir. Bahkan lima tahun kemudian, sudah ada yang melaporkan tentang mukjizat yang terjadi melalui perantaraan doa sang uskup.

Makamnya menjadi situs peziarahan yang tak pernah sepi pengunjung. Tahun 1983, Bapa Suci Yohanes Paulus II berdoa di depan makamnya –meskipun menuai kritik dari pemerintah El Salvador maupun dari kalangan internal Gereja sendiri. Pada Tahun Yubelium Agung 2000, Bapa Suci memasukkan nama Romero dalam upacara mengenang para martir abad XX dengan predikat “Saksi Agung Injil”. Bahkan Presiden AS Barack Hussein Obama mengunjungi makamnya tahun 2011; begitupun Presiden Irlandia Michael Daniel Higgins tahun 2013.

Proposal untuk beatifikasi Mgr Romero sudah diajukan Uskup Agung San Salvador, Mgr Arturo Rivera Damas SDB sebagai postulator tahun 1990. Dokumen itu diterima Kongregasi Penggelaran Kudus tahun 1997, dan sejak saat itu dimulai penyelidikan tentang keutamaan kristiani dan kemartiran Romero. Proses ini sempat terkatung-katung beberapa kali. Pada Maret 2005, sudah terdengar kabar tentang beatifikasi Romero. Namun, Bapa Suci Yohanes Paulus II lebih dulu wafat sehingga prosesnya tertunda.

Pada akhir 2012, Paus Benediktus XVI membuka kembali proses penggelaran kudus Mgr Romero. Lamanya proses ini karena sebagian menilai bahwa kematian Romero disebabkan karena kebencian dalam ranah politik dan sikap frontalnya menentang penguasa sipil.

Setelah 35 tahun, Paus Fransiskus merestui dekrit kemartiran Mgr Romero. Pada 8 Januari 2015, Kongregasi Penggelaran Kudus memutuskan Mgr Romero dibeatifikasi dan tinggal meminta restu Paus. Lalu pada 3 Februari 2015, Paus merestui dekrit kemartirannya dalam audiensi dengan Prefek Kongregasi Penggelaran Kudus, Kardinal Angelo Amato SDB.

Konon tak diduga, keputusan beatifikasi sebagai martir ini membalik pandangan sebagian pihak yang menganggap bahwa kematian Mgr Romero adalah bermotif politik. Kematiannya merupakan buah dari perjuangannya merealisasikan amanat KV II dan muncul dari iman Kristiani yang ia hidupi dalam memperjuangkan umatnya yang tertindas dengan penuh kasih.

R.B.E. Agung Nugroho

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here